Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menahan mantan Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino alias RJ Lino (RJL) setelah ditetapkan sebagai tersangka sejak Desember 2015. RJ Lino mengaku senang terkait penahanannya tersebut.
RJ Lino adalah tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan “Quay Container Crane” (QCC) di PT Pelindo II.
“Saya senang sekali karena setelah 5 tahun menunggu. Saya hanya diperiksa tiga kali dan di mata saya tidak ada artinya sama sekali supaya jelas statusnya,” kata RJ Lino sebelum memasuki mobil tahanan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/3/2021).
Seperti dikutip dari Antara, dia lantas menyinggung soal kerugian keuangan negara senilai USD 22.828,94 seperti yang disebut KPK dalam konstruksi perkara. Namun, kerugian itu hanya terkait pemeliharaan tiga unit “Quay Container Crane” (QCC).
“BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) hanya kasih kerugian negara 22.000 dolar (AS) pemeliharaan. Saya mau tanya, apa dirut urusannya ‘maintenance? Perusahaan gede, urusan pengeluaran bukan urusan dirut,” ujar RJ Lino.
Dia kemudian menjelaskan mengenai penunjukan langsung pengadaan QCC tersebut yang diduga terjadi korupsi.
“Karena waktu saya di penyelidikan, saya kasih tahu mereka, alat yang saya tunjuk itu saya tunjuk langsung, 2 tahun kemudian saya lelang. Yang ikut lelang 10 orang yang masukin penawaran dua. Barangnya sama persis kebetulan pemenangnya sama, harganya itu 500 ribu dolar (AS) lebih mahal daripada saya nunjuk langsung,” ucap RJ Lino.
“Jadi kalau BPK ‘fair’, harusnya mereka isi itu. tidak ada kerugian negara karena lelang lebih mahal dibanding nunjuk langsung,” ujar dia.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkap alasan lembaga antirasuah baru menahan RJ Lino setelah 5 tahun jadi tersangka. Menurut dia, ada kendala terkait dengan perhitungan kerugian negara.
“Kendalanya memang dari perhitungan kerugian negara di mana BPK itu meminta agar ada dokumen atau harga pembanding terhadap alat (crane) dan itu sudah kami upayakan baik melalui kedutaan China,” kata Alex saat jumpa pers di Gedung KPK Jakarta, Jumat (26/3/2021).
Alex melanjutkan, KPK telah berkordinasi dengan inspektorat dari China. Saat itu, kata Alex, mereka mendatangi KPK dan disampaikan bahwa penyidik kami membutuhkan harga sesungguhnya dari crane yang dijual oleh PT HDHM.
“Bahkan tahun 2018, Pak Laode dan Pak Agus itu ke China dan dijanjikan bisa bertemu menteri atau jaksa agung, tapi pada saat terakhir ketika mau bertemu dibatalkan,” ungkap Alex.
Alex menyimpulkan, hal-hal tersebutlah yang menjadi kendala di periode ke-4 kepemimpinan KPK selama empat tahun dalam kasus ini. Selain itu, BPK menuntut ada dokumen atau data yang dibutuhkan dalam penghitungan kerugian negara.
“Penyidik kesulitan mendapatkan harga QCC itu atau setidaknya harga pembanding. Kalau misalnya HDHM menjual ke negara lain itu bisa dibandingkan sehingga itu bisa menjadi dasar perhitungan negara,” jelas Alex.
Alex mengatakan, solusi yang diambil KPK adalah memanggil ahli dari ITB. KPK percaya, ahli dari ITB ini dapat menghitung harga pokok produksi dari QCC tersebut.
Menurut Alex, dalam menghitung kerugian dalam akuntasi itu ada yang disebut historis cost didukung dengan data dan dokumen berapa biaya yang dikeluarkan untuk membelikan alat terkait temasuk harga pembanding.
“Ada juga metode lain yaitu menghitung replacement cost, kira-kira berapa biaya yang dikeluarkan kalau alat itu diproduksi sendiri? kami menggunakan metode itu dengan meminta bantuan dari ahli ITB untuk merekonstruksi alat QCC itu seandainya dibuat, harga pokoknya berapa,” Alex menandasi.
Sebagai informasi, dengan perhitungan ahli dari ITB tersebut KPK membuatnya sebagai dasar bahwa terjadi selisih yang signifikan dibandingkan dengan harga yang dibeli PT Pelindo II ke HDHM sebesar 15 juta dolar sesuai dengan angka kontraknya.
Padahal, perhitungan ahli ITB dengan telah memasukkan ongkos angkut, angkanya hanya sebesar total 10 juta dolar. Maka dari itu, KPK meyakini terjadi selisih senilai 5 juta dolar yang diduga sebagai tindak pidana korupsi.