FOKUS – Bupati Banyumas Sadewo Tri Lastiono menegaskan bahwa polemik terkait perumahan Dewan harus segera diselesaikan melalui mekanisme resmi. Menurutnya, penilaian atau appraisal ulang akan dilakukan bekerja sama dengan aparat penegak hukum (APH).
“Saya sudah sampaikan ke teman-teman dewan, Pak Kajari, dan Pak Kapolresta. Apapun hasilnya, kalau sudah keluar appraisal resmi dari KJPP, saya harap bisa diterima semua pihak, baik dewan maupun masyarakat,” ujar Bupati saat memberikan sambutan dalam acara Gagasan 50 Tokoh Banyumas bertemakan ‘Mengangkat Legacy Banyumas di Kancah Nasional’ pada Rabu, (1/10/2025)
Bupati berharap, keributan yang terjadi belakangan ini segera reda. Ia menilai, konflik hanya akan mengurangi minat investor masuk ke Kabupaten Banyumas. “Setiap keributan pasti membuat investor ragu datang ke Banyumas,” katanya.
Lebih lanjut, Bupati menyampaikan bahwa setiap kunjungannya ke Jakarta selalu membawa manfaat bagi daerah. “Alhamdulillah, setiap saya ke Jakarta, pulangnya bisa membawa anggaran atau program untuk Banyumas, bukan untuk saya pribadi. Itu bisa dicek,” ungkapnya.
Bupati menambahkan, bahkan sebelum dirinya resmi dilantik sebagai bupati, ia sudah berhasil membawa program pembangunan dari pemerintah pusat.
“Menteri PU pernah memberi kesempatan, dan itu bisa kita manfaatkan untuk Banyumas,” pungkasnya.
Diketahui, penetapan besaran tunjangan perumahan dan transportasi bagi pimpinan serta anggota DPRD Banyumas kembali menuai sorotan publik. Melalui Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 9 Tahun 2024 yang ditandatangani Pj. Bupati Hanung Cahyo Saputro, APBD Banyumas dibebani anggaran sekitar Rp22,26 miliar per tahun hanya untuk dua pos tunjangan tersebut.
Aan Rohaeni, pengamat hukum dan kebijakan publik, menilai kebijakan itu janggal jika dibandingkan dengan alokasi anggaran untuk kebutuhan mendesak lainnya.
“Bandingkan dengan anggaran penanganan bencana alam tahun 2025 yang hanya Rp2,58 miliar. Rasanya tidak masuk akal jika belanja tunjangan dewan hampir sepuluh kali lipat lebih besar dari dana darurat untuk menyelamatkan warga korban bencana,” katanya, Rabu (1/10/2025).
Menurut Aan, tunjangan tersebut sejatinya merupakan kompensasi karena pemerintah tidak menyediakan rumah dinas. Namun faktanya, hampir seluruh anggota DPRD telah memiliki rumah pribadi dan kendaraan sendiri.
“Artinya, tunjangan besar itu tidak benar-benar digunakan sesuai maksud awal, melainkan berubah menjadi tambahan penghasilan,” ujarnya.
Kajian dari Pihak Tidak Kompeten

Aan mengungkapkan, persoalan utama justru terletak pada dasar penetapan tunjangan tersebut. Perhitungan besaran tunjangan DPRD, kata dia, bersumber dari kajian PT Savero Artistica Utama, perusahaan konsultan yang bukan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) dan tidak memiliki lisensi penilai dari Kementerian Keuangan.
“Artinya, kajian yang dijadikan acuan hukum dalam Perbup 9/2024 secara prosedural tidak sahih. Padahal, sesuai aturan, hanya Penilai Publik yang berwenang menentukan nilai sewa rumah atau kendaraan untuk dasar tunjangan pejabat negara maupun daerah,” tegas Aan. (Angga Saputra)