FOKUS – Sengketa lahan Lapangan Besar Cilongok kembali memanas. Kuasa hukum ahli waris, Ananto Widagdo SH SPd, menuding ada indikasi upaya menutupi dokumen penting terkait asal-usul tanah yang tercatat dalam buku C Desa Cilongok.
Menurut Ananto, dokumen tersebut memegang kunci pembuktian dalam sengketa, namun hingga kini tidak diberikan secara lengkap oleh pihak desa maupun kecamatan.
“Dari surat yang diserahkan kepada kami, letter C-nya tidak memuat asal-usul perolehan tanah. Diduga kuat dokumen itu baru dibuat tahun 2005, sesuai data pembayaran SPPT. Padahal, kasus ini bermula sejak 1967. Mustahil tidak ada dokumen resmi yang menjelaskan peralihan atau perolehan tanah tersebut,” tegasnya.
Ananto mengingatkan, jika ada pihak yang dengan sengaja menghilangkan atau menyembunyikan dokumen setelah diminta secara resmi, maka perbuatan itu bukan lagi sekadar kelalaian, tetapi sudah masuk ranah pidana.
“Kalau dalam hal ini kita temukan ada mensrea nya dan perbuatan melawan hukumnya maka kami tidak akan berkompromi dan siap melaporkan ke aparat penegak hukum,” ujarnya.
Ia menambahkan, pihaknya memberi batas waktu kepada Pemdes Cilongok dan Kecamatan Cilongok untuk menyerahkan dokumen asal-usul tanah tersebut secara utuh. Jika tenggat diabaikan, langkah hukum akan segera ditempuh.
Terkait hal ini, Kepala Desa Cilongok, Waluyo mengatakan dirinya baru menjabat tahun 2019 jadi tidak tahu asal usul terkait buku C mengenai letter C yang tahun terdahulu.
“Saya tahu hanya berdasarkan letter C yang baru sebagai dasar atas dilakukannya setifikasi,” jelasnya singkat.
Diberitakan sebelumnya, Kuasa hukum ahli waris lahan Lapangan Besar Cilongok, Ananto Widagdo, S.H., S.Pd., menyebut bahwa penyelesaian sengketa tanah kini memasuki tahap krusial, yakni permintaan akses terhadap Buku C Desa, dokumen penting yang memuat riwayat kepemilikan dan peralihan hak atas tanah.
“Buku C adalah dokumen vital milik desa. Mustahil tidak ada catatan mengenai sejarah pengalihan tanah yang kini menjadi Lapangan Besar Cilongok, yang diklaim oleh klien kami,” ujar Ananto saat ditemui Selasa (6/8/2025).
Ananto menjelaskan bahwa dalam pertemuan terakhir dengan pihak desa, hanya diberikan empat dokumen yang menurutnya tidak menggambarkan sejarah penguasaan tanah secara menyeluruh. Ia menilai jika dokumen tersebut menjadi dasar penerbitan sertifikat, sekalipun hanya Sertifikat Hak Pakai (SHP), maka dasar hukumnya patut dipertanyakan.
“Kami tegaskan, jika hanya empat dokumen itu yang dijadikan dasar penerbitan sertifikat, jelas itu keliru,” tandasnya.
Lebih lanjut, Ananto mengungkapkan dugaan adanya penghilangan dokumen penting. Ia menduga dokumen Letter C asli tidak lagi berada di desa. (Angga Saputra)


