Prof Yudhie Haryono PhD
CEO Nusantara Centre
Tentu, pancasilaisme itu mempraktekkan kasih sayang yang lembut bagi seluruh umat manusia. Tentu saja bagi yang paling miskin, yang paling lemah, yang cacat dan paling tidak penting di sebuah komunitas, kasih itu direalitaskan.
Atas alasan itu, realisasi dari cita-cita pancasila adalah untuk memahami, melayani dan menunjukkan belas kasih dan keinginan untuk membantu, melindungi, mencerdaskan, menyejahterakan, mendisiplinkan dan mewargaduniakan seluruh pengimannya. Dus, di negara pancasila, agama kemanusiaan menjadi inti dan subtansinya; kampus kemanusiaan itu inti kurikulumnya; pesantren kemanusiaan itulah tradisinya.
Di negara pancasila, kemanusiaan adalah cinta negara bagai tabib untuk luka rakyatnya, teman untuk kesedihan rakyatnya, guru untuk tindakan ekopol warganya, pendamping untuk kegembiraan warganya, cinta kasih murni tanpa komodifikasi bagi sesama. Luas dan lapang dalam pikiran, ucapan, tulisan serta praktiknya.
Tafsir dari kemanusiaan kita, mirip kalimat peraih dua nobel Marie Curie (1867-1934), “masing-masing dari kita harus bekerja untuk perbaikannya sendiri, dan pada saat yang sama berbagi tanggung jawab umum untuk seluruh umat manusia.” Holupis kuntul baris; satu untuk semua dan semua untuk satu.
Karenanya bicara kemanusiaan di kita itu seperti kisah yang menggambarkan sejarah perjuangan, persahabatan dan semangat yang tulus untuk mengatasi banjirnya negara jahat, kutukan fundamentalisme agama, menjamurnya komunisme liberal dalam mengejar impian mereka: sorga di bumi dengan “menyalahkan dan memiskinkan sang liyan.”
Karena itu, nalar kemanusiaan kita bagaikan sebuah magnet. Jika kita bernalar sehat, maka kita akan mendapat sehat. Jika kita bernalar masalah, maka kita akan mendapat masalah. Di sini kita didorong untuk terus positif thinking (berpikir positif).
Positif thinking itu cara berpikir yang fokus pada hal-hal baik, konstruktif dan optimis dalam menghadapi semua masalah. Orang yang menerapkan positif thinking cenderung melihat peluang dalam kesulitan, berusaha untuk tetap berpikir jernih dan memiliki keyakinan bahwa segala hal dapat diatasi dengan sikap ulet, jenius dan usaha maksimal.
Sungguh. Tanpa realisasi kemanusiaan di negara pancasila maka kita sedang menikmati ekopol simulakra. Kata simulakra sendiri berasal dari bahasa Latin: simulācrum, dari similō, bentuk infinitif kini dari similis “serupa” yang merujuk pada hal yang tampak (baik real maupun khayal) tetapi tidak memiliki dasar realitas asal apapun.
Semua hanya bayang semu dan hiperrealitas. Absurd dan tidak terasa keberadaannya. Semua hanya diucapkan tanpa “niat” dipraktekkan. Khianat dan menipu; munafik dan selingkuh. Jelas, ekopol simulakra ini anti kemanusiaan, anti pancasila.
Tanpa kemanusiaan di negara pancasila, gambaran kehidupan ekopol kita mirip karya tulis anakku. Sebuah karangan bebas, yang kutemukan di buku diarinya. Sebuah karya keren yang membuatku trenyuh dan meneteskan air mata. Sedih sekali. Begini ketikannya:
“Jika aku jadi presiden republik Indonesia, kerja pertamaku adalah memastikan mesin kesejahteraan dan keadilan bekerja, bukan mengemis ke China dan berkeliling dunia. Selanjutnya, aku pasti melenyapkan KKN dan judi; mengganti, memecat dan memenjarakan pejabat yang terlibat serta jadi bekingnya. Bukan mengangkat mereka jadi komisaris di BUMN dan jadi penasehatnya. Tapi kata ayahku, aku tak bisa jadi presiden republik Indonesia karena pemilihnya cuma ayahku.”
Tentu saja, tanpa kemanusiaan di sekitar kita, laksana tinggal di negara gagal. Yaitu sebuah negara yang ekopolnya dikuasai segelintir orang dengan memelihara ketimpangan serta kemiskinan akut. Ini negara korporasi, negara jahat, negara swasta hingga membuat kepariaan yang sudah lama kita ingin tenggelamkan: kita hapuskan dari muka bumi.
Untuk itu, kita harus lawan dan terus pupuk harapan dalam kemanusiaan yang hidup untuk membantu orang lain, sambil mengubur negara jahat, tumpas elite asusila, penjarakan pejabat amoral. Mari buat kemanusiaan yang adil menjadi ras kita. Mari buat kemanusiaan yang beradab menjadi agama sesama manusia Indonesia.(*)