Rangga Sujali
———————–
Bagi orang Banyumas dan sekitarnya burung pented ora ilok dipelihara. Tapi di Jawa Timur, konon burung pembawa keberuntungan. Desa mawa cara, lurung mawa basa.
Saya hanya penikmat burung ocehan yang terbang bebas, seperti empat ekor terucuk, yang tiap pagi hinggap dan berkicau, khas dan tak membosankan. Kendati kualitas vokal, falseto, dan intonasinya statis dari hari ke hari. Dia cuma burung yang belajar dari alam, tanpa rekayasa dan banyak teori.
Beda dengan anak saya yang ketiga. Sejak SMP dia senang memelihara burung. Semua terrawat baik dan sehat. Pakan, minum, kebersihan kandang, bahkan suplemennya. Kenari dari yang lokal sampai yang F-1 ada, ngriwik dan beranak pinak. Goci, Anis merah, murai, Kacer, dengan ocehannya yang riuh. Crocokan, yang di Bali lepas bebas, dia punya dua ekor.
Yang menurutnya paling menyebalkan adalah pented. Burung ini tak punya konsep spesifik, atau tepatnya dia yang paling adaptif. Jangankan suara sesama burung, ayam berkokok, atau bahkan suara vespa pun mampu dia tiru. Unggulannya adalah pleci, goci, dan murai. Sering ikut lomba dan beberapa kali juara. Setiap lomba dan juara, dia memilih burung unggulannya dijual. Selama sudah mendapat untung, tak perlu lagi dipelihara.
Pernah menonton lomba burung? Penonton bersorak-sorai. Burung dibuat takut. Tapi semakin keren si burung, dia akan bertambah gacor. Tak peduli dengan intimidasi penonton. Sesederhana itu kualitas burung
Aku tersenyum simpul. Orang ribut kepingin melihat adu debat capres-cawapres. Mereka sudah terlatih orasi. Bicara tentang konsep ideal sebuah negara. Menata ilmu pengetahuan, politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan, bukan semudah membalik telapak tangan. Tidak pula seperti lomba burung ocehan. Semua konsep indah berbangsa-bernegara secara periodik, lima tahunan, selalu diulang ditawarkan oleh calon legislatif, calon kepala daerah, dan calon kepala negara. Selalu indah didengar, tapi dalam aplikasinya kemudian tidak ada perubahan signifikan.
Dari era ke era, untouchable system, tidak bisa menerima perubahan. Begitu perkasa mereka mencengkeram kekuasaan, dari pusat hingga daerah. Tetap bebal dan korup. Enam orang hebat itu terpilih di antara 270 juta penduduk Indonesia. Tentu semua memiliki kemampuan, kesempatan, dan pengetahuan lebih dibandingkan kita.
Negeri ini butuh kerja nyata, yang tidak bisa diselesaikan dengan debat, adu ocehan di gantangan. Tentang ketahanan menghadapi depresi di tengah riuh rendah penonton dengan asumsi dan analisa sumir. Seolah ocehan itu menyelesaikan karut-marut birokrasi yang kian limbung. Goreng-menggoreng, kekuatan sosial media, buzzer, hoax, menjadi junk food yang setiap waktu dijejalkan. Tergantung menu pilihan kita.
Bahkan pented pun bisa sekadar menirukan ocehan spesies burung lain.
Penulis adalah Pemerhati Sosial, Budayawan dan Jurnalis Senior.