BANYUMAS – Tingginya angka kecelakaan kerja yang dialami para penderes nira di Banyumas menjadi perhatian serius sejumlah pihak. Aktivis sosial, Tri Agus Triono mengungkapkan bahwa sejak 2017 hingga 2021, jumlah penderes di Banyumas menurun drastis, dari 32.000 menjadi hanya sekitar 25.600 orang.
“Angka ini saya peroleh dari hasil riset pribadi dan data yang pernah disampaikan oleh Pak Bupati Achmad Husein waktu itu. Artinya, ada penurunan hampir 5.000 penderes,” ujar Yono.
Ia menyebut setidaknya ada tiga penyebab utama menurunnya jumlah penderes, yakni: tingginya angka kecelakaan kerja, tidak adanya regenerasi, serta minimnya peremajaan pohon kelapa.
“Profesi penderes sering kali tidak diwariskan ke anak. Orang tua trauma karena risiko tinggi, sehingga anak-anak memilih bekerja ke luar daerah. Mereka lebih memilih menjadi buruh atau pekerja migran, daripada meneruskan jadi penderes,” jelasnya.
Selain itu, faktor usia pohon kelapa juga memengaruhi. Sebagian besar pohon di Banyumas sudah tua dan sulit dideres. Upaya peremajaan dengan menanam kelapa genjah pun dinilai belum berhasil karena kualitas air niranya dianggap tidak sebaik kelapa tinggi.
Melihat tingginya risiko kecelakaan, Yono pun merintis inovasi alat keselamatan kerja berupa safety belt penderes. Sejak 2021, ia mendemonstrasikan alat tersebut di sejumlah desa, dan melakukan penyempurnaan berdasarkan uji coba langsung di lapangan.
“Inovasi terakhir saya diterima penderes karena ringan, tidak menambah beban, dan efisien secara waktu. Penderes itu kejar-kejaran waktu, jadi alat ini harus simpel dan tidak menghambat,” katanya.
Yono menekankan pentingnya pendekatan preventif. Ia menyebut program ini sebagai Zero Incident, yakni pencegahan kecelakaan sebelum terjadi. Menurutnya, program santunan kecelakaan dan kematian tidak cukup jika tidak ada upaya mengurangi risiko sejak awal.
“Ngapain menunggu orang celaka dulu baru dapat santunan. Kita harus cegah dari awal. Itu yang saya perjuangkan,” tegasnya.
Program Zero Incident ini sempat masuk dalam program kerja Pemkab Banyumas pada era Bupati Husein dan sudah disahkan. Namun, menurut Yono, realisasinya masih sangat rendah.
“Sampai sekarang belum sampai 5 persen dari total penderes. Padahal itu sangat penting,” katanya.
Mengenai harga safety belt, Yono mengaku tetap menjualnya ke pemerintah daerah seharga Rp600.000 per unit sejak 2021 tanpa kenaikan, meski harga bahan baku meningkat. Ia menyatakan tidak mengambil untung karena menganggap ini sebagai bentuk kepedulian sosial.
“Yang penting biaya produksi tertutup, dan penderes bisa lebih aman,” ujarnya.
Ia berharap, dengan adanya alat keselamatan dan edukasi yang memadai, profesi penderes bisa kembali dianggap layak bahkan keren.
“Penderes sekarang sudah pakai alat sekelas pekerja industri FTI. Pakai safety belt, karabiner, itu standar tinggi. Jadi profesi ini harus mulai kita angkat derajatnya,” pungkas Yono. (Angga Saputra)


