INDIE BANYUMAS
  • Beranda
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
INDIE BANYUMAS
  • Beranda
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
INDIE BANYUMAS

TEMPAT KEMBALI

Kamis, 3 Juni 2021

“Kau pantas masuk neraka.” Mendengar ucapannya aku tersenyum. Sedangkan Tuhan yang menciptakan neraka saja tak pernah menginginkan hambaNya memasukinya, lalu kenapa dia begitu berani menghakimi orang lain. Apa hanya karena dia melihat penampilanku yang kumal, bau apek dan tubuh bertatto?

***

Suara dari corong  masjid hampir tiap hari kudengar lima kali, akupun hapal hanya saja tidak tahu apa artinya. Aku hanya tahu kalau orang-orang menyebut azan, panggilan untuk menjalankan ibadah menyembah-Nya.

Orang-orang bersarung berbondong-bondong menuju ke sumber suara, sebuah bangunan sederhana dengan logo bulan bintang di atas atapnya.

Kulirik jam tangan, “Jam enam sore,” gumamku.

Sudah empat kali kudengar suara yang sama.

Mereka konon akan menghadap Tuhannya untuk membuktikan bahwa mereka adalah hamba-hamba yang berbakti, mereka banyak meminta ini dan itu dan berharap semua permintaannya dikabulkan.

“Kau tidak ikut mereka?” ujar laki-laki paruh baya menepuk punggungku. Dia pemilik warung kecil di seberang masjid tempat biasa aku melepas haus dan lelah.

“Tidak, Pak. Nanti saja. Badanku masih kotor dan bau,” jawabku.

Aku memang belum siap, bahkan apakah aku layak menjejakkan kaki di tempat berkumpulnya para ahli surga itu.

“Baiklah kalau begitu, Bapak tak akan memaksamu. Bapak tinggal dulu sebentar, mau ke masjid. Warungnya biar saja terbuka, toh ada kamu yang menjaga,” ujar laki-laki itu sambil mengenakan peci putihnya.

“Wah, apa Bapak percaya kalau warung ini saya jaga? Bapak tidak takut ada barang atau uang yang saya curi?”

Mendengar ucapanku, laki-laki pemilik warung tersenyum,

“Insyaallah bapak percaya kalau dalam hatimu tak ada niat kotor.”

Hatiku tergetar, seolah tidak percaya pada apa yang dikatakan bapak pemilik warung. Beliau begitu percaya padaku; laki-laki asing yang entah dari mana asalnya.

Kedua mataku menatap laki-laki itu berjalan menuju masjid. Kulihat sesosok ayah dalam dirinya. Ayah yang sejak kecil tidak pernah kulihat seperti apa wajahnya.  Tidak terasa air mataku mengembang.

“Oh tidak, kenapa aku menangis? Bukankah selama ini kuanggap air mata adalah simbol kelemahan, cengeng. Tidak, tidak aku tidak boleh menangis.” Buru-buru kuseka airmata dengan telapak tanganku. Tak boleh ada yang tahu kalau aku baru saja menangis.

Senja hening, terdengar suara parau seorang laki-laki sedang membaca salah satu surat yang sedikitnya pernah kuhapal.

“Masih di sini, Kau rupanya? ” Bapak pemilik warung mengejutkanku. Tiba-tiba dia sudah berada di depanku.

“Eh iya, Pak. Bukankah saya sedang menjalankan amanat dari Bapak?”

Bapak pemilik warung mengembangkan senyumannya lagi.

“Hmmm… ternyata dugaan Bapak tidak keliru.”

“Tidak keliru, maksudnya?” tanyaku ingin tahu.

“Ya, Kau memang orang yang bisa dipercaya. Padahal tadi kotak uang sengaja Bapak buka. Jika mau, Kau bisa mengambil seluruh uangku dan pergi dari warungku dan tak ada yang tahu kalau Kau pelakunya.”

Pemilik warung itu melepas pecinya dan menggantungnya di dinding di belakangnya.

“Oh, saya takut, Pak. Meski mungkin tak ada orang yang melihat, aku yakin ada yang jauh lebih tahu tentang semua perbuatanku.”

“Darimana kau tahu ada yang lebih mengawasimu?” Bapak pemilik warung bertanya.

Aku diam sesaat, memilah milih kata untuk menjawab. Aku takut jawabanku salah dan nanti malah ditertawakan olehnya.

“Ya, Bapak tahu siapa yang kamu maksud. Dia Tuhanmu, Tuhan bapak juga dan Tuhan semesta alam ini.”

Bapak pemilik warung seolah bisa menangkap pikiranku. Ya, selama ini aku memang hanya tahu bahwa Tuhan pemilik seluruh semesta, termasuk diriku ini.

“Pak, apakah orang-orang yang tadi berada bersama Bapak, di tempat itu adalah sudah pasti masuk surga?”

Pertanyaanku tak langsung dijawabnya. Beliau beranjak dari tempat duduknya, tangannya meraih gelas dan dua kopi sachetan.

“Pertanyaanmu nanti saja jawabnya, sekarang Kau isi dulu perutmu dengan kopi ini. Agar kau sedikit lebih rileks. Kau suka kopi, bukan?”

Aku mengangguk kecil tanda mengiyakan.

“Sekarang, minumlah dulu kopinya selagi masih hangat. Bapak tahu kau lapar. Mau kubuatkan mie rebus atau nasi goreng?” Sungguh baik hati pemilik warung ini, tak seperti laki-laki yang kutemui beberapa hari lalu, dia yang memakiku. Dia yang memvonis kalau orang sepertiku pasti masuk ke dalam neraka. Saat kutanya, seperti apa neraka itu, dia hanya mengatakan kalau neraka itu adalah api menyala-nyala sangat panas dan tubuh lebur di dalamnya.

Dalam benakku, neraka itu ibarat bara api pemanggang satai, atau api yang bisa menyalakan sebatang rokok, bahkan mie rebus di atas kompor itu juga akan matang karena panasnya api.

Aku berseloroh seperti itu di hadapannya, dia justru semakin menganggapku orang terlaknat.  Bukankah, dengan nyala atau bara api, daging kambing akan terasa lebih nikmat, rokok dapat dihisiap dengan asapnya memenuhi rongga dada terasa nikmat, bukan?

Sedangkan, jalan menuju surga justru berisi kesengsaraan, jalan yang ditempuh pun terlalu terjal, penuh aral menggoda.

“Anakku, Bapak tak berhak menghakimi atau menilai siapapun, sesama manusia hanya dengan melihat tampilan luar. Tentang surga dan neraka bukan wewenang kita untuk menghakimi seseorang.” Jawaban bapak pemilik warung sangat jauh berbeda. Jawaban yang lebih diterima hati dan pikiran, tanpa harus disanggah.

“Kalau begitu, Bapak juga tidak tahu kalau bapak bakal masuk neraka atau surga?”

Mendengar pertanyaanku, kening bapak pemilik warung berkernyit.

“Maksudmu? Kenapa tiba-tiba kau berkata seperti itu?” bapak pemilik warung balik bertanya.

“Ya, karena aku bukan orang yang saleh, beribadah pun tak pernah. Otomatis aku bukan termasuk orang-orang yang berjalan di jalan lurus tak seperti mereka.”

“Sampai sekarang, Bapak pun tengah memahami makna jalan yang lurus. Bapak juga tak ingin berbangga hati meski setiap hari Bapak pergi ke masjid, Bapak belum tentu tengah berjalan di jalan yang lurus.”

“Bukankah, jalan yang lurus adalah jalan orang-orang yang datang dan menghamba padaNya?”

“Memang, tapi tak sesederhana itu jawabannya.”

“Jadi kalau begitu, aku juga bisa berada di jalan yang lurus?”

“Sangat berhak, siapa pun sangat boleh berada di sana. Karena itulah keinginan Tuhan bisa bertemu kembali dengan manusia-manusia yang diciptakan-Nya.”

“Bagaimana mungkin aku bisa bertemu dengan-Nya, sedangkan aku ini tak pernah datang  menyembahNya?”

“Tak ada yang tak mungkin. Kalau Dia sudah berkehendak, maka apa pun bisa terjadi.”

“Apakah Bapak juga tahu aku nanti akan masuk neraka?”

Perbincangan kami terhenti, ada seorang perempuan masuk melalui pintu samping warung.

“Siapa dia, Abah?” perempuan muda itu bertanya pada bapak pemilik warung.

“Oh dia… siapa namamu, Nak?” bapak pemilik warung bertanya padaku.

“Hendra, Pak?” jawabku.

Perempuan muda itu mengangguk kecil seraya tersenyum ramah. Aku membalas anggukannya, reflek bibirku pun ikut bergerak membentu senyuman.

“Dia anak perempuan Bapak satu-satunya. Namanya Farah,” bapak pemilik warung menyebutkan nama anak perempuannya.

Ayah dan anak tengah berbicara lirih, aku tidak bermaksud menguping pembicaraan mereka. Sebelum meninggalkan warung, tangannya meraih tangan ayahnya dan menciumnya.

“Nak Hendra tak perlu takut apakah nanti bakal masuk neraka atau surga. Pasrahkan saja pada Tuhan, sama Gusti Allah. Tak perlu termakan omongan-omongan yang menyudutkanmu.” Bapak pemilik warung melanjutkan pembicaraan kami yang sempat tertunda.

Mendengar penjelasannya hatiku dapat sedikit lega.

“Lalu, apakah Tuhan mau menerima ibadahku, sedangkan tubuhku penuh tattoo, kumal dan bau seperti ini?”

“Anak muda, Tuhan tak memandang seperti apa sang hamba, namun dia melihat isi hati, kemantapan niat untuk mendekat pada-Nya,” ujarnya seraya menatap ke arahku.

Seperti seorang bapak pada anaknya sendiri. Aku merasa nyaman berada di dekat beliau.

“Insyaallah kau pasti bisa, sebab kau juga salah satu dari sekian banyak makhluk-Nya yang tak lepas dari pengawasan serta kasih sayang-Nya,” sambungnya.

“Pak, ajari aku mengenalNya,” pintaku pada bapak pemilik warung.

“Baiklah, sekarang saat yang tepat. Dengarlah, azan isya sudah berkumandang. Mari kita ke masjid,” ucapnya sambil  menepuk pundakku.

Puluhan pasang mata mengarah padaku dengan tatapan aneh, penuh curiga. Meskipun aku sudah mengenakan kain sarung dan kemeja yang dipinjami oleh bapak pemilik warung, namun, tattoo yang beada di leher dan tanganku tidak mampu ditutupi apalagi rambutku yang panjang hanya ditutupi peci yang kekecilan.

Aku pura-pura tidak tahu kalau tengah menjadi pusat perhatian, aku tidak peduli dengan penilaian mereka. Meskipun mereka tidak mengakui keberadaanku, aku hanya ingin Sang Pemilik Jiwaku tidak pernah membiarkanku terlempar dari jalan-Nya.

Soal tempat kembaliku nanti, mutlak menjadi hak prerogatif Tuhan. Aku tidak ingin memaksakan kehendakku. Karena aku orang yang baru mendekati-Nya, tidak sopan kiranya jika aku terlalu banyak menuntut semua keinginanku dipenuhi.

Pensil Kajoe
Tumiyang, Pekuncen, 11 Februari 2019

ShareTweetKirimkan
Sebelumnya

Catatan Bulan Bung Karno (2)

Selanjutnya

Eduwisata Tunnel Garam Jetis Sasar Wisatawan

Selanjutnya

Eduwisata Tunnel Garam Jetis Sasar Wisatawan

Polsek Cilongok Lockdown, Pelayanan Pindah ke Kantor Kecamatan

Tentang Kami / Redaksi
Pedoman Media Siber / Independensi & Donasi

© 2021 indiebanyumas.com

Tentang Kami / Redaksi / Pedoman Media Siber / Independensi & Donasi

© 2021 indiebanyumas.com
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • Beranda
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI

© 2021 indiebanyumas.com