
Manusia digariskan untuk mengitari waktunya dalam siklus keterbatasan. Karena sejatinya, setiap orang adalah makhluk yang penuh keterbatasan.
Setiap mereka, dalam keterbatasan-keterbasan yang berbeda, semuanya pasti memiliki tujuan dalam mengarungi hidup. Meskipun, untuk mencapai tujuan hidup bukanlah hal yang gampang.
Dalam kehidupan, seringkali berbagai rintangan bermunculan menghambat langkah setiap orang. Sulitnya masalah yang dihadapi, seringkali mematahkan semangat yang ada dalam jiwa.
Meski begitu, rintangan yang sudah dihadapi Purnomo sejak usia belia, malah mengubahnya menjadi sosok pria tangguh yang selalu ingin hidup mandiri.
Purnomo, 32 Tahun, adalah contoh manusia yang tak pernah lelah mewujudkan keinginan menggapai masa depan yang cerah dan bahagia dengan bermodalkan salah satunya keyakinan dan kekuatan mental.
Kedua modal yang tumbuh dari rintangan hidupnya itu jauh lebih berharga daripada modal berbentuk materi. Atas keteguhan hatinya itu, Purnomo saat ini bisa hidup mandiri dengan menjalani usaha di bidang fashion.

Meski outlet yang kini ia jadikan sebagai tempat usaha utamanya hanya berupa ruang kecil, Purnomo merasa dia telah diberi kesempatan menatap masa depan yang lebih baik.
“Rintangan hidup menjadikan seseorang secara alamiah menjadi kuat ketika menghadapi setiap kenyataan. Saya merasa bersyukur dalam menatap masa depan, setidaknya ketika semua telah saya tempuh dengan jalan mandiri, ” kata pria kelahiran Lampung 1990 ini.
Purnomo sudah merasakan bagaimana sulitnya bekerja mencari nafkah sejak usia belia. Ketika duduk di bangku sekolah lanjutan pertama, Purnomo tak sungkan ketika kondisi hidup mengharuskannya bekerja sebagai kuli bangunan. Itu ia lakukan agar dirinya tetap bisa mengenyam pendidikan seperti kawan-kawan seusianya.
“Lulus dari SMP saya tak melanjutkan ke SMA dan diajak bekerja di Jakarta sebagai kuli bangunan pada 2004,” ungkapnya.
Karena faktor beban kerja yang cukup berat bagi usianya yang kala itu baru beranjak 15 tahun, Purnomo hanya bertahan tiga pekan di ibu kota.
Pulang ke Lampung, Purnomo tidak beranjak menuju ke rumah pamannya yang ia tempati, melainkan mencari pekerjaan di daerah lain yaitu di wilayah Lampung Tengah. Jarak kota itu cukup jauh dari tempat kediaman sang paman di Kota Bandar Lampung.
Purnomo hidup menggelandang di Lampung Tengah selama beberapa hari sampai suatu sore dirinya bertemu dengan seorang pria payuh baya yang jadi sosok dewa penolong baginya. Orang tersebut lantas meminta Purnomo untuk tinggal di rumahnya di kampung yang berdekatan dengan perkebunan karet.
Setelah diberi waktu istirahat satu hari, Purnomo kemudian diberi pekerjaan oleh orang tersebut yang ternyata adalah pengelola salah satu perkebunan sawit. Purnomo diberi pekerjaan membantu para pengawas di areal perkebunan sawit yang begitu luas.
Di perkebunan kelapa sawit itu, Purnomo menerima gaji sebesar Rp 150 ribu per bulan. Purnomo tetap bersyukur, dan menjalani pekerjaannya dengan disiplin.
“Mungkin nilai gaji itu bukan gaji dalam arti sebenarnya, tapi uang jajan sebab untuk urusan makan dan tempat tinggal, saya dijamin oleh beliau, ” tutur Purnomo tanpa menyebut nama sosok orang yang membantunya tersebut.
Selamat dari Petaka

Ada harapan besar Purnomo ketika berada di sana untuk bisa kembali merasakan bangku pendikan di sekolah lanjutan atas. Sayangnya, harapan itu sirna setelah 3 bulan dirinya bekerja sekaligus menjadi anak asuh dari salah seorang pengelola perkebunan, persoalan besar muncul.
Purnomo yang menunaikan tugas pekerjaannya membantu pengawasan kegiatan perkebunan sawit hampir menjadi korban kekerasan segelintir orang. Penyebabnya, Purnomo hanya melaporkan terjadinya kegiatan yang menyalahi aturan dalam bongkar muat kelapa sawit.
“Saya masih dilindungi Tuhan karena saat itu ditolong oleh warga dan dilarikan sampai saya akhirnya kembali ke Bandar Lampung rumah paman, ” ceritanya.
Kembali di kampung halaman, Purnomo sulit untuk memperoleh pekerjaan karena tidak memiliki keterampilan. Hingga 4 bulan setelahnya, Purnomo diterima ketika mendaftarkan diri sebagai penjaga gedung di kantor DPD Partai Kedaulatan Lampung.
“Entah ini kebetulan seperti apa, di tempat kerja ini saya juga memperoleh gaji sama Rp 150.000, tapi lebih miris karena selama 3 bulan malah tidak dibayar,” ungkapnya.
Purnomo lantas keluar, dan memutuskan untuk mencari pekerjaan di Kabupaten Cepu pada tahun 2006 atas saran dari kerabatnya.
“Ini sungguh -sungguh terjadi bahwa di sana ketika saya dapat pekerjaan menjadi tukang panggang ikan, gaji yang diterima saya sama, 150 ribu sebulan, ” katanya.
Di Cepu, Purnomo tidak bertahan lama. Tahun 2007, Purnomo pergi ke Kota Bandung untuk tujuan menemui bibinya sembari mencari pekerjaan.
“Ternyata di Bandung susah, tak ada peluang dan akhirnya saya kembali ke lampung, Alhamdulillah tak lama nganggur saya dapat pekerjaan menjadi tukang taman di Bandar Lampung, ” katanya.
Merasakan Bangku Sekolah Setelah 3 Tahun ‘Berkelana’

Beberapa bulan setelah memperoleh pekerjaan sebagai tukang kebun di taman kota, Purnomo akhirnya kembali bisa bersekolah melanjutkan jenjang pendidikan di SMA. Tempat ia bersekolah tidak jauh dari taman dimana ia bekerja juga dirinya tinggal di sebuah gubug di sekitar taman.
Purnomo tak pernah malu atas kondisi dirinya di hadapan teman sekolah. Baginya, tidak ada yang salah ketika harus menjalani kehidupan yang ia jalani karena tidak membuat orang lain terganggu. Sikap itulah yang membuat Purnomo justru malah akrab dengan sejumlah teman-teman di sekolahnya.
Apalagi tak sedikit dari teman Purnomo yang sengaja mendekati Purnomo karena ingin membeli koleksi pakaian yang dimiliki Purnomo dari hasil membeli di pasar loak Way Halim Bandar Lampung. Ya, Purnomo memang memiliki koleksi pakaian bekas yang dibelinya dari pasar tradisional tersebut sejak masih duduk di bangku SMP.
“Karena tak pernah saya membeli baju baru di supermarket atau manapun selain di pasar yang harganya terjangkau untuk saya, akhirnya saya pun cukup punya banyak pakaian bekas. Dan saya kaget ketika beberapa teman menginginkan pakaian saya dengan membelinya, karena katanya corak dan bahannya bagus, ” ungkapnya.
Sejak 2002 Beli Baju Bekas, Saat SMA Banyak Dilirik Teman
Purnomo ketika itu masih berseragam biru putih. Saat waktu pulang sekolah, dia tak ikut bermain bersama temannya melainkan pergi ke pasar Way Halim di Bandar Lampung. Di sana, tujuan Purnomo hanya satu, lapak pakaian bekas.
Tidak setiap kali ke pasar ia membeli pakaian bekas. Biasanya Purnomo hanya melihat-lihat barang dagangan penjual sembari memperhatikan merk dan corak yang ia sukai seperti pakaian yang biasa ia lihat di majalah maupun tabloid.
“Sebelum ke pasar saya kan biasanya mampir ke agen koran, membaca tabloid, koran atau majalah yang banyak memuat gambar fashion, dari itu saya biasanya memilih pakaian bekas yang ada di sana, “tuturnya.
Tidak mudah bagi Purnomo bahkan hanya untuk membeli pakaian loak. Dia harus mengumpulkan uang terlebih dulu dari menyisihkan uang jajan yang juga sedikit.
“Kalau beruntung, pas uang cukup barang yang saya inginkan masih ada. Sedihnya kalau sudah senang cukup duit tapi barangnya dibeli orang, ” katanya.
Tekad keras dibumbui keprihatinan membuat Purnomo setiap bulan dan kadang dua pekan sekali mampu membeli pakaian bekas. Pertama yang ia beli adalah kaos polo thsirt merk Tommy Hilfiger seharga Rp 50.000. Itu ia peroleh saat sebelum masuk SMA ketika awal bekerja sebagai tukang kebun.
Selanjutnya setelah kembali sekolah, Purnomo kembali aktif hunting mencari pakaian bekas di pasar yang sama. Dari berburu itu, ia bisa memperoleh merk lain macam Uniqlo, celana Selvede, Levis 50,Guci (Crewnejk atau sweater), Adidas Jaket, Puma, Nike, BurberrIake, mulai dari harga Rp. 50-150 ribu.
“Harga itu jauh lebih murah ketimbang pakaian yang biasa teman saya beli baru di supermaket. Zaman itu belum ada merk yang sama beli itu disebut dengan istilah KW. Saya ketika membeli juga memilih sesuai dengan pengetahuan merk bagus serta cara menilai keaslian yang saya dapat dari hasil membaca” kata Purnomo.
Tahun 2009 ketika dia sudah lulus SMA dan diterima di Universitas Negeri Lampung (Unila), kondisi pasar di lapas pakaian bekas mengalami sedikit perubahan.
Pedagang di pasar sudah berani membeli pakaian bekas dalam bentuk per ball dengan kode Jepang.
“Hunting pakain bekas tak pernah berhenti, dan saya tak sekalipun pergi ke mall untuk beli baju baru sampai sekarang,” kata Purnomo yang menempuh kuliah di Jurusan Agro Teknklogi Fakultas Pertanian Unila tersebut.
Selama bertahun-tahun berburu pakaian bekas, Purnomo pun banyak koleksi beragam merk pakaian. Bukan sembarang merk, berbekal kejelian memilih fashion berkualitas meski bekas, pakaian loak yang ia beli dengan harga murah akhirnya banyak diminati teman-temanbta hingga akhirnya Purnomo memutuskan untuk sekalian berbisnis pakaian bekas.
“Ketika saya memutuskan sekakian membuka usaha seller pakaian bekas, saat itu sebenarnya juga belum banyak yang tahu merk-merk tertentu yang harga di pasar loak murah padahal jika dijuak mahal. Tahun 2010-an, saat itu juga mulai masuk produk Evisu dari Jepang yang memproduksi kaos dan celana, Sukajan (jaket jepang) dan jakey army punya NATO,”terang Purnomo.
Ketika bisnis Purnomo berkembang, pada waktu sama dirinya juga dihadapkan pada kewajiban untuk menyelesaikan skripsi yang menjadi satu langkah saja untuk dirinya berhasil meraih gelar sarjana. Sayangnya, langkah mudah itu tak diteruskan Purnomo dan dirinya memutuskan untuk tidak lagi melanjutkan studinya.
“Ini soal prinsip, bukan karena saya menjalankan usaha kemudian kuliah saya tidak selesai. Bukan, ini karena saya memegang teguh prinsip saya bahwa sebagai manusia kita punya hak untuk menjaga keteguhan sikap kita, ” tegasnya.
Tak Mau Jual Barang Kesayangan

Purnomo mengakui dirinya memang memiliki sikap keras dalam memegang teguh prinsip. Termasuk di dunia usaha jual beli pakaian bekas atau yang dikenal dengan istilah thrifting.
Bagi Pur, sapaan Purnomo, keuntungan adalah hal utama dalam menjalani usaha jual beli. Namun begitu, Pur seringkali tidak peduli akan keuntungan apabila koleksi barang yang ia miliki memang tidak pernah ia jadikan sebagai barang dagangan.
“Jujur ketika saya mencintai koleksi saya dan tidak untuk dijual, maka keuntungan besar bukan menjadi hal menarik buat saya, ” ungkapnya.
Purnomo yang kini tinggal di rumah orang tuanya di Desa Pandansari Ajibarang mengaku sudah bersyukur atas penghasilan dari usaha sekaligus hobbi-nya itu. Kejelian Purnomo memilih pakaian bekas merupakan keahlian yang tidak semua orang mampu untuk mempelajarinya.
Sudah banyak pakaian bekas yang ia beli dengan hanya merogoh kocek puluhan ribu atau paling banyak ratusan ribu yang dibeli orang dengan harga jutaan rupiah.
Kaos oblong merk Givanci yang ia beli Rp 120 ribu telah terjual Rp 1,3 Juta, ada jaket Andy warhol yang ia beli dari loak Rp 110 ribu kemudian dibeli seharga Rp.4, 5 juta juga Chrome Heat yang hanya membeli Rp. 70 ribu lalu dibeli orang seharga Rp. 2.200.000
Tahun 2017 silam, Pur pernah menjual kaos buatan tahun 1984 album band Metallica Rp. 1,1 Juta.
“Ada masih saya dapat kaos yang sama, udah ada yang nawar 4 juta, dan belum ingin saya lepaskan, ” kata pria yang juga hobi Remote Control (RC) Mobile ini.
Redaksi Indiebanyumas
Editor : Angga Saputra