Sebagai orang awam mendengar kata DPR adalah mereka orang-orang yang berdasi dan berjas yang kerjaanya merancang undang-undang. DPR itu sendiri semua warga negara mengenalinya sebagai kependekan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Analogi dan arti mudahnya DPR adalah sebagai “wakil rakyat” untuk menyuarakan keluhan, penderitaan, pendapat, ataupun sebagainya kepada pemerintah dalam hal ini adalah Negara. Mudahnya jika suara yang kita (rakyat) tertitipkan dengan benar ataupun tersampaikan dengan jelas pada pemerintah seyogyanya rakyat makmur jibar jibur tidak banyak mangloh soal ini dan soal itu pada pemerintah.
Lalu jika mendengar DPR-RI akan membangun rumah aspirasi diseluruh daerah apa tidak menjadi tumpang tindih, yang memang tugas aslinya DPR adalah sebagai rumah aspirasi rakyat tentu tidak harus dibangun gedung untuk dijadikan rumah aspirasi untuk mendengar dan menyampaikan aspirasi rakyat, yang pentingkan aspirasi kita tersalurkan pada pemerintah entah bagaima caranya. Lalu jika sudah ada “gedung” itu apa fungsinya jika suara-suara kita tidak tersampaikan, bukan begitu rakyat?
Kembali sebagai warga biasa yang tidak tahu menahu apa yang mereka (anggota dewan) kerjakan di gedung sana, apapun itu yang jelas semoga mereka benar-benar sebagai penyalur tujuan rakyat, penyalur suara rakyat, penyalur jalan rakyat bukan sebagai penyalur tujuan-tujuan pribadi mereka untuk mengumpulkan pundi-pundi dana rakyat atau sebagai jalan mereka memperkaya diri dan keluarga mereka.
Tentu tidak perlu minta maafkan, jika baru pembukaan saja tulisan ini sudah menjudge yang tidak-tidak pada mereka, yah semoga mereka legowo seperti halnya rakyat yang selalu diharuskan legowo menunggu suara-suaranya bukan hanya tersampaikan tapi juga terkabulkan.
Sesudah menuangkan kegelisahan saya menceoba mencermati arti kata DPR seperti apa, dalam KBBI adalah badan legislatif yang anggotanya terdiri atas para wakil rakyat yang dipilih baik secara langsung maupun tidak langsung, bertugas membuat undang-undang dan menetapkan anggaran pendapatan dan biaya negara; parlemen. Tentu tidak salah-salah amatkan apa yang saya tuliskan diatas.
Tentu kita juga tahu, untuk mendengarkan aspirasi bukan pekerjaan yang mudah untuk mereka, apalagi ditambah betapa luasnya wilayah Indonesia yang membentang dari Sabang sampai merauke, tapi ya begitulah, memang mereka dibayar HANYA untuk mendengarkan suara kita, lalu untuk mengabulkannya mungkin perlu bayaran lagi.
Lalu menjadi salah siapa kalau suara kita (rakyat) tidak tersampaikan kepada pemerintah, mereka sebagai wakil atau kita yang memilih mereka sebagai wakil, tentu begitukan alurnya, rakyat memilih wakil rakyat terlebih dahulu dan jika mereka tidak menyuarakan suara kita, kita juga yang akhirnya disalah-salahkan. “siapa yang memilih mereka coba?”
Selanjutnya sebagai rakyat yang cerdas tentu kita harus menunjuk “wakil” yang cerdas pula, cerdas mengerti apa yang kita mau, memudahkan rakyat dalam menikmati fasilitas pendidikan, ekonomi, kesehatan dan sebagainya, yang kita tidak usah mengemis-mengemis kepada mereka untuk mengabulkan suara kita, tapi mereka mengerti apa yang kita mau, karena mereka kan juga rakyat yang seharusnya mereka juga merasakan apa yang kita rasakan, perbedaanya hanya mereka yang kita tunjuk untuk menyuarakan “doa-doa” kita.
Bukan hanya jika rakyat menginginkan pendidikan yang tinggi, cukup mereka yang merasakan, rakyat menginginkan penghasilan banyak bukan hanya penghasilan mereka yang banyak, rakyat menginginkan makan enak bukan cukup mereka yang makan enak, rakyat ingin tidur diruang ber-AC bukan hanya mereka yang menikmati. Bukan itu maksudnya kan? Mimpi-mimpi rakyat cukup di “wakil”kan oleh wakilnya saja yang menikmati.
Atau bukan hanya seperti alunan lagu Suara buat wakil rakyat milik bang Iwan Fals sebagai berikut:
Untukmu yang duduk sambil diskusi
Untukmu yang biasa bersafari
Di sana, di gedung DPR
Wakil rakyat kumpulan orang hebat
Bukan kumpulan teman teman dekat
Apalagi sanak famili
Di hati dan lidahmu kami berharap
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam
Di kantong safarimu kami titipkan
Masa depan kami dan negeri ini
Dari Sabang sampai Merauke
Saudara dipilih bukan dilotre
Meski kami tak kenal siapa saudara
Kami tak sudi memilih para juara
Juara diam, juara he’eh, juara ha ha ha……
Untukmu yang duduk sambil diskusi
Untukmu yang biasa bersafari
Di sana, di gedung DPR
Di hati dan lidahmu kami berharap
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam
Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu “setuju….”
Sebenarnya cukup dengan lagu bang Iwan diatas, suara kita tersampaikan dan mereka tersindir, lalu membuktikan dengan kinerja yang baik, Jujur dan sehat sebagai pemegang amanah suara kami.
Sudah-sudah pada akhirnya kita hanya bisa pasrah, sebagaimana kita pasrah pada Tuhan tentang apa yang kita doakan pada-Nya, tentang apa yang kita pinta pada Gusti, kewajiban kita hanya berdoa dan berdoa urusan terkabul dan tidaknya kita serahkan saja sepenuhnya pada yang Maha Mengabulkan, tapi kalau kita tidak berdoa juga salah, kita dianggap sebagai makhluk yang sombong. Sombong tidak membutuhkan bantuan Tuhan, sombong tidak menyatakan apa yang pinta pada Tuhan. Begitu juga halnya dengan soal “wakil rakyat”, kita hanya berkewajiban menyuarakan aspirasi kita dan selanjutkan kita serahkan kepada “wakil” kita. Soal sampai atau tidaknya, mereka para “wakil” punya tanggung jawab bukan hanya kepada rakyat tapi juga pada Tuhannya.
Kan intinya kewajiban kita sebagai rakyat untuk bersuara terpenuhi dan tersampaikan, begitu titik.
Kalau sudah seperti itu kan enak, kita akan selalu berkhusnudzon kepada kinerja wakil kita di gedung sana, tidak sebentar-bentar mengeluh dengan harga cabai yang naik, mangloh dengan harga ratusan juta untuk harga minyak wangi ruangan DPR.
Sudah-sudah sebagai rakyat mari kita menikmati kebahagiaan hidup ini saja, menerima apa adanya dan sea-adanya apa yang mereka berikan pada kita, mungkin baru itu yang mereka mampu berikan, jangan banyak mengeluh soal ini dan soal itu. Toh sebagai rakyat biasa paling mentok hanya merasakan jalanan aspal baru yang tidak sampai selesai pengerjaanya, atau atap genteng mushola, semen untuk membangun jalan setapak, atau saluran irigasi yang harus ditambah iuran lagi, atau bantuan pembangunan jembatan.
Dan sudah akhiri saja tulisan ini, semakin ngawur saja, nanti malah mereka marah, biaya sekolah mahal lagi, biaya kesehatan mahal lagi, pembuatan surat jaminan kesehatan dipersulit. Dan akhirnya masa jabatan mereka selesai sebelum merealisasikan suara kita, tapi mereka sudah capai mendengarkan dan mendengarkan begitu banyak suara, sampai mereka bosan.
Iya sudah-sudah kita akhiri saja, semoga mereka selalu legowo dan mendengarkan apa yang mereka “wakilkan” bersuara.
Penulis : Kang Kas,
Barista dan Mahasiswa UNU