FOKUS – Sengketa kepengurusan Yayasan Darun Nujaba yang melibatkan hubungan keluarga kembali disidangkan di Pengadilan Negeri Purwokerto, Kamis (15/5). Perkara ini mencuri perhatian publik lantaran melibatkan gugatan seorang anak terhadap ayah kandungnya sendiri.
Gugatan tersebut diajukan oleh Mifta Reza Notoprayitno terhadap ayahnya, Zainal Abidin Ishak, serta sejumlah pihak lainnya termasuk adik-adiknya. Sengketa bermula dari perubahan susunan kepengurusan yayasan melalui Akta Nomor 3 tertanggal 6 Februari 2025, yang memindahkan posisi Mifta dari Pembina menjadi Pengawas.
Mifta mengklaim sebagai pendiri yayasan bersama almarhumah ibunya sejak 2008. Yayasan Darun Nujaba diketahui menaungi beberapa lembaga pendidikan, mulai dari kelompok bermain hingga sekolah dasar di wilayah Baturraden, Banyumas.
Kuasa hukum penggugat, Guyub Bekti Basuki SH MH, menyebut perubahan struktur tersebut cacat hukum karena tidak sesuai prosedur sebagaimana diatur dalam anggaran dasar yayasan.
“Perubahan pengurus hanya bisa dilakukan oleh Pembina. Dalam hal ini, klien kami sebagai Pembina tidak pernah diundang secara resmi dalam rapat tersebut,” tegas Guyub.
Ia meminta agar Akta 2025 dibatalkan dan struktur dikembalikan seperti dalam Akta 2021, yang menetapkan Mifta sebagai satu-satunya Pembina yayasan.
Sementara itu, kuasa hukum tergugat, Aditya Surya Kurniawan, menilai gugatan tersebut tidak konsisten.
“Yang bersangkutan hadir dalam rapat perubahan pengurus, tapi sekarang menggugat dan menyatakan tidak sah. Ini menjadi aneh,” ujar Aditya.
Pihak tergugat, menurutnya, bersikap terbuka terhadap proses mediasi namun menyerahkan sepenuhnya kepada penggugat sebagai pihak yang mengajukan gugatan.
“Karena tergugat dalam posisi pasif, pembuktian tentu menjadi beban penggugat,” tambahnya.
Sidang yang dipimpin oleh hakim Muslim Setiawan SH belum memutuskan substansi perkara. Majelis hakim memutuskan sidang ditunda dan dilanjutkan ke tahap mediasi. Sejumlah pihak turut tergugat, termasuk perwakilan Kementerian Hukum dan HAM, belum hadir dan akan dipanggil kembali.
Mediasi diharapkan menjadi jalan tengah yang mampu menyelesaikan konflik tanpa merusak hubungan keluarga lebih jauh. Jika mediasi gagal, kasus ini berpotensi menjadi preseden penting dalam tata kelola yayasan berbasis keluarga di Indonesia. (Angga Saputra)