![]()
16 bulan berjalan, pandemi tak kunjung henti. Analisa akademik, statemen politis, dan ramalan ngawur bertebaran. Semua meleset.
Merah, kuning, hijau, silih-berganti seperti traffic light di perempatan. Bahkan di paruh kedua bulan ini, Jawa-Bali merah merona. Masyarakat sempat sedikit terhibur, ketika kabar burung menyampaikan bahwa awal Juli pariwisata Bali akan mulai dibuka. Angin surga itu terlalu lembut, dan akhirnya bau kentut.
Rakyat mulai jenuh. Area publik ditutup, hajatan, dan kerumunan dilarang. Tapi mall terbuka lebar, karena di mall banyak pemodal berinvestasi. Harus membayar sewa tempat, gaji karyawan, listrik, dan lain-lain. Tak jelas mana yang benar. Logika, mall dengan ruangan tertutup dan air conditioner terpusat, akan lebih potensial menyebarkan virus. Pun masih ada alasan bahwa pengunjung di mall lebih mudah dikontrol. Siapa yang melakukan fungsi kontrol terhadap pergerakan sporadis sang virus?
Keputusasaan membuncah. Upaya menggali sumber daya untuk sekadar survive sudah dilakukan. Pun belum menghasilkan sesuatu untuk mencukupi kebutuhan dasar. Sisi lain, dengan gaji dan aneka tunjangan, para pejabat yang diberi amanah untuk menyalurkan bansos, melakukan tindakan lacur. Memanfaatkan kesempatan dengan baik untuk korupsi.
Empati masih ada di jalanan. Bukan di kantor-kantor megah itu. Saling bahu masih ada di kampung. Kaum Hedon yang berbagi sekadar untuk eksistensi.
Manusia tak bisa menangkis. Pasti kalah. Makin berumur kita, makin jauh kita dari masa kanak — ketika kita jatuh cinta buat pertama kali dan menyangka hidup adalah jalan yang asyik tanpa akhir — makin sadar kita bahwa “Hidup hanya menunda kekalahan.” Batas itu niscaya. Ada yang tetap tidak terucapkan sebelum pada akhirnya kita menyerah.
Jangan tanya sampai kapan pandemi ini akan usai, karena masih banyak yang berharap tak segera selesai.

Penulis : Rangga Sujali