Prof. Yudhie Haryono PhD
(Presidium Forum Negarawan)
Dr. Agus Rizal
(Ekonom Univ MH Thamrin)
Mengapa pasar sering gagal menciptakan keadilan? Sebaliknya, ia melahirkan informasi asimetrik, eksternalitas, monopoli, distabilitas, dan oligopoli. Tentu karena minimnya intervensi negara dan dimanfaatkannya kebijakan itu oleh oligarki dan swasta serakah (serakahnomic).
Karena alasan itulah, kebijakan perdagangan dalam negeri dalam Undang-Undang Perekonomian Nasional menempatkan pasar nasional sebagai ruang strategis yang harus dikendalikan negara untuk kepentingan publik. Selama bertahun-tahun, perdagangan domestik terlalu dibiarkan mengikuti logika liberalisasi, membuka ruang bagi spekulan dan pelaku besar mengatur harga sesuka hati.
Arus baliknya, dalam undang-uandang perekonomian nasional ditegaskan bahwa perdagangan tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar bebas karena pasar nasional adalah urat nadi ekonomi domestik yang menentukan stabilitas, kesejahteraan, kesentosaan dan keadilan warga-negara. Negara atau pemerintah wajib hadir sebagai pengatur, bukan penonton.
Arah ini selaras dengan Teori Regulasi Pasar dari Herman Daly (1990), yang menekankan bahwa pasar hanya berfungsi sehat jika negara menciptakan batas, aturan, dan koreksi agar kekuatan ekonomi tidak terkonsentrasi pada segelintir aktor.
Ketika distribusi dan harga dipengaruhi oleh dominasi satu atau dua pemain, pasar berhenti menjadi mekanisme persaingan dan berubah menjadi arena rente yang predatorian. Rancangan kebijakan ini menjawab masalah tersebut dengan menegaskan bahwa perdagangan dalam negeri harus diatur untuk mencegah konsentrasi kekuatan ekonomi.
Sistem distribusi menjadi fokus utama. Distribusi yang panjang, tidak efisien, dan dikuasai broker telah menyebabkan fluktuasi harga yang merugikan produsen dan konsumen. Karena itu negara diwajibkan membangun sistem distribusi yang transparan, terkoordinasi, dan terukur. Barang harus bergerak cepat dari produsen ke konsumen tanpa biaya tambahan yang tidak masuk akal.
Prinsip ini sejalan dengan Teori Market Failure dari Joseph Stiglitz (1989), yang menunjukkan bahwa tanpa intervensi negara, informasi asimetris dan perilaku oportunistik akan merusak pasar: merusak ekonomi nasional dan regional. Perbaikan distribusi adalah cara negara memutus ruang bagi praktek rente.
Pengawasan perdagangan kemudian mengambil peran penting. Rancangan kebijakan ini mewajibkan pengawasan ketat terhadap rantai perdagangan agar harga tidak dimanipulasi oleh pelaku usaha besar. Praktik penimbunan, kartel, dan kolusi harga harus dihentikan melalui regulasi yang tegas. Negara tidak hanya melindungi konsumen, tetapi juga produsen kecil yang selama ini kalah oleh oligopoli. Dengan pengawasan yang konsisten, ruang bagi ekonomi rente ditekan hingga mendekati nol.
Dalam kerangka ini, perdagangan dalam negeri harus memprioritaskan produk lokal. Industri lokal agar hidup, sebab itu hulu-hilir perekonomian kita. Pemerintah diwajibkan menciptakan ekosistem yang memungkinkan pelaku usaha lokal bersaing secara sehat tanpa tergerus dominasi impor atau produk asing yang mendikte harga.
Ketika produksi nasional menjadi prioritas, nilai tambah tetap tinggal di dalam negeri. Ini bukan proteksionisme sempit, tetapi strategi kedaulatan ekonomi yang rasional. Stabilisasi harga menjadi instrumen yang tidak bisa dilepaskan. Negara diberi kewenangan melakukan intervensi melalui cadangan barang strategis dan mekanisme penyaluran langsung agar gejolak harga dapat dikendalikan.
Intervensi pasar ini bukan distorsi, tetapi koreksi terhadap perilaku pasar yang sering kali menyimpang dari kepentingan publik. Dengan stabilitas harga, warga memiliki kepastian dan pelaku usaha dapat merencanakan produksi tanpa ketakutan. Hukum kesetimbangan lebih penting dari hukum besi pasar yang selama ini “salah dan melenceng” dari ekonomi nasional. Inilah pasar sosial atau pasar terkelola seperti sudah dikerjakan oleh banyak negara makmur di dunia.
Secara keseluruhan, kebijakan perdagangan dalam negeri di Rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional dirancang untuk meniadakan kartel, membongkar ekonomi rente, dan mengembalikan persaingan yang jujur. Negara tidak lagi membiarkan pasar dikuasai pemain besar yang menentukan harga sesuka hati.
Ketika negara mengambil alih kendali distribusi, memperkuat pengawasan, melindungi produk lokal, mendorong reindustrialisasi dan menutup ruang permainan oligopoli, Indonesia sedang membangun pasar nasional yang benar-benar bekerja untuk warga, bukan untuk segelintir elite ekonomi.
Dan lebih jauh dari itu, kebijakan ini menegaskan bahwa masa depan perdagangan Indonesia tidak boleh lagi bergantung pada kekuatan informal, mafia distribusi, atau jaringan rente yang selama ini menjadi “penguasa tak terlihat.”
Negara sedang menutup pintu rapat-rapat bagi ekonomi bayangan ini (shadow). Dus, reformasi perdagangan dalam negeri bukan sekadar pembenahan teknis, melainkan pembersihan struktur ekonomi yang kotor agar pasar nasional berdiri di atas fondasi yang bersih, transparan, dan sepenuhnya berpihak pada warga negara. Saatnya berbenah kembali, membuat pasar menjadi alat perealisasian ekonomi pancasila, bukan sebaliknya.(*)


