FOKUS – Polemik terkait Peraturan Bupati (Perbup) No. 9/2024 tentang pendapatan dan tunjangan DPRD Banyumas terus menuai kritik. Meski beberapa fraksi di DPRD menyatakan dukungan terhadap perubahan aturan tersebut, sejumlah aktivis menilai langkah itu belum cukup tanpa adanya tekanan publik.
Pimpinan Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Purwokerto, Omeda Desamara, S.Pd., menegaskan, revisi Perbup hanya akan berjalan jika ada desakan nyata dari masyarakat.
“Opsi paling realistis tetap melalui aksi massa rakyat, agar DPRD maupun Pemkab, dalam hal ini bupati, benar-benar berkomitmen melakukan perubahan atas Perbup maupun aturan terkait pendapatan dan tunjangan DPRD Banyumas,” kata Omeda.
Potensi Pelanggaran Hukum
Pandangan lebih keras disampaikan Nanang Sugiri, SH, dari Yayasan Tribhata Banyumas. Ia menyebut Perbup No. 9/2024 tidak hanya cacat yuridis dan etis, tetapi juga berpotensi mengandung unsur tindak pidana korupsi.
Menurut Nanang, pengembalian dana tunjangan bukan solusi. “Kesalahan tidak hilang meski uang dikembalikan. Begitu kebijakan retroaktif dijalankan, sejak saat itu pula terjadi perbuatan maladministrasi yang cacat yuridis. Pengembalian hanya menutup jejak finansial, tetapi kesalahan prosedural dan etik tetap melekat,” ujarnya.
Nanang merujuk Pasal 13 ayat (2) Perbup 9/2024 yang memerintahkan pembayaran tunjangan terhitung sejak Januari 2024, padahal regulasi baru ditetapkan pada 16 April 2024. “Ini jelas melanggar asas retroaktif yang dilarang oleh UU No. 30 Tahun 2014, kecuali untuk melindungi hak rakyat atau keuangan negara. Fakta bahwa peraturan retroaktif diterapkan untuk kepentingan pejabat adalah bentuk maladministrasi serius,” jelasnya.
Ia menambahkan, dalam konteks UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ada tiga potensi pelanggaran:
1. Indikasi penyalahgunaan kewenangan melalui regulasi retroaktif yang menguntungkan pejabat.
2. Potensi kerugian negara akibat pembayaran tunjangan tanpa dasar hukum yang sah sejak Januari 2024.
3. Konflik kepentingan karena regulasi diarahkan untuk menguntungkan pihak berwenang, bukan masyarakat.
“Meski uang dikembalikan, potensi kerugian tetap bisa ditelusuri karena niat (mens rea) dan perbuatan (actus reus) sudah terjadi: penyalahgunaan kewenangan untuk keuntungan pribadi,” tegas Nanang.
Gelombang Penolakan Meluas
Di lapangan, gelombang penolakan juga semakin meluas. Juru parkir dan komunitas ojek online (ojol) Banyumas ikut mendesak revisi Perbup yang dinilai tidak berpihak kepada masyarakat kecil.
Ketua Paguyuban Juru Parkir Banyumas, Heri Gudeg, menyebut ada lebih dari 1.500 juru parkir di wilayah kota dan kecamatan. Ia menegaskan pihaknya siap bersatu dengan elemen masyarakat sipil untuk mengkritisi kebijakan tersebut.
“Teman-teman kami setiap hari bekerja di jalanan, tapi darah kami sama merah. Saat diperlukan demi kebaikan daerah, khususnya Kabupaten Banyumas, kami siap turun ke jalan. Insya Allah, semua ini untuk kebaikan Banyumas,” kata Heri dalam sebuah diskusi publik.
Hal senada disampaikan Ketua Paguyuban Ojek Online Langlang Jagad, Ki Aji Langlang Jagad. Ia menilai kebijakan kenaikan tunjangan dewan sangat timpang dibandingkan dengan perjuangan para driver online.
“Kami sedang memperjuangkan kenaikan tarif angkutan, regulasi makanan dan barang, serta ketentuan tarif bersih angkutan sewa khusus, semuanya belum terealisasi. Tetapi tunjangan dewan justru dinaikkan. Ini sangat timpang,” ujarnya. (Angga Saputra)