Prof Yudhie Haryono PhD
Kehidupan Pram memang enigmatis, tragis dan bahkan kini dikultuskan. Mengapa? Karena keberanian Pram (sikap maupun tulisan) yang sangat menonjol, lalu karyanya dibaca dan diproduksi berulang-ulang dalam banyak media. Kutipan yang menggambarkan satu sisi kehidupan Pram dibiakkan dan dikampanyekan di mana-mana. Luwarbiyasa!
Ia terus hebat karena terus melawan dan menulis. “Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari” (dalam Anak Semua Bangsa) menjelaskan pilihan hidupnya. Karya yang kini tak banyak pewarisnya mampu lampaui. Takdir kini memang kita kemarau karya dunia. Selebihnya, kita hanya banjir pecundang, pembohong dan penipu yang tak jemu-jemu.
Memang, kebohongan itu menular dan ditularkan. Ia penyakit ganas yang sulit disembuhkan. Terlebih itu dari pusatnya pusat kekuasaan. Para pembohong akan bersetubuh dengan para pembual untuk memproduksi generasi super pembual bin pembohong bin penipu di segala waktu.
Bagi penulis, Pramoedya adalah salah satu dari tiga penggambar besar bangsa kita. Jika Nurcholish Madjid adalah penggambar paling fasih tentang ”Islam dan Indonesia,” lalu HAMKA adalah penggambar setia tentang ”ummat dan sikap,” maka Pram adalah penggambar idealis tentang ”rakyat dan nasibnya.”
Cara Pram menggambar Indonesia sangat detail. Walau orang kampung, dia berpikir dan bertindak dunia. Lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925—wafat di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun, Pram secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang paling produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Berasal dari keluarga yang punya ”sikap” dan pengabdian pada idealisme, Pram adalah pewaris dan penanda keluarga besarnya. Buktinya adalah, ia menghasilkan lebih dari 50 karya yang diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing dan beberapa kali mendapat nominasi Nobel Sastra. Satu momen yang tak dipunyai sastrawan lainnya di Indonesia.
Bukti lainnya, ketika Pramoedya Ananta Toer meninggal, ribuan tokoh datang berziarah dan menyanyikan lagu Darah Juang mengiringi prosesi pemakamannya. Pasti ini sulit dilakukan oleh manusia biasa. Kata Nabi, ”jika engkau ingin tahu apa nasib mayat di akhirat nanti, lihatlah yang datang berziarah. Banyaknya peziarah yang datang adalah bukti doa dan kehilangan dari banyak orang.” Dan, jazad Pram telah membuktikan sabda Nabi dengan kematian yang diantarkan begitu banyak kawan serta menguras air mata para ”Pramisme.”
Sebagai sastrawan dunia, Pram memang dahsyat dan memikat. Publik internasional, sebagaimana ditulis Los Angeles Time, menjulukinya sebagai Albert Camus Indonesia. Bahkan Pram masuk dalam 100 pengarang dunia yang karyanya harus dibaca sejajar dengan John Steinbejk, Graham Greene dan Bertolt Berecht. Profilnya pernah ditulis di New Yorker dan The New York Time. Pram juga dianggap sebagai orang paling berpengaruh di Asia menurut majalah Time sehingga memperoleh berbagai penghargaan seperti PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award.
Jika kita baca novel-novel sejarah yang dibuat Pram, kita akan temukan sejarah yang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah umum. Bukunya punya ciri yang sama sekali berbeda dengan sejarah yang diajarkan di bangku-bangku sekolah. Hal ini mungkin karena Pram menyukai karya Leo Tolstoy, Anton Chekov, Gunter Grass dan John Steinbeck yang memang sering menulis apa yang tidak dipikirkan oleh ”yang umum.” Sebab, Pram punya ciri dan cara tersendiri dalam menuliskan sejarah dan peristiwa di sekitar kita. Ciri utamanya adalah realisme yang menghentak, penuh pesan dan kaya makna.