FOKUS – Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Banyumas, Arif Harijanto, menilai polemik tunjangan perumahan dan transportasi anggota DPRD Banyumas tidak bisa dilepaskan dari akar persoalan sistem pemilu yang berlaku saat ini.
Menurut Arif, anggota DPRD hasil pemilu proporsional terbuka cenderung lahir dari praktik politik transaksional. Akibatnya, setelah terpilih, banyak wakil rakyat merasa tidak lagi memiliki ikatan dengan masyarakat yang memilihnya.
“Fakta ini yang kemudian menimbulkan ugal-ugalan dari para wakil rakyat dalam menentukan anggaran bagi dirinya sendiri,” ujarnya.
Ia membandingkan dengan sistem proporsional tertutup yang menempatkan partai sebagai representasi masyarakat dari pusat hingga daerah. Dengan model tersebut, aspirasi rakyat dapat disalurkan lewat partai, lalu diteruskan ke fraksi di DPR maupun DPRD sebagai kepanjangan tangan partai.
Namun, Arif juga mengkritik kondisi internal partai politik yang dinilainya telah kehilangan prinsip demokrasi. Menurutnya, proses suksesi kepemimpinan di hampir semua tingkatan kini didominasi penunjukan langsung dari pusat, bukan hasil musyawarah daerah. “Rekomendasi kader seringkali turun dari pusat tanpa mekanisme konferensi di daerah,” katanya.
Lebih lanjut, Arif menyoroti lemahnya peran partai dalam pembahasan anggaran di legislatif. Pandangan umum fraksi dalam RAPBD maupun Perda seharusnya disampaikan kepada pengurus partai agar menjadi bagian dari pendidikan politik. Namun kenyataannya, proses pengesahan RAPBD hanya sebatas formalitas.
“Badan Musyawarah (Bamus) biasanya menjadwalkan pembahasan hanya dua hingga tiga hari sebelum pengesahan. Mustahil sosialisasi ke pengurus partai bisa dilakukan dalam waktu sesingkat itu,” terangnya.
Terkait polemik tunjangan DPRD yang memicu keresahan publik, Arif berharap isu tersebut menjadi momentum evaluasi sistem pemilu.
“Dari akar persoalan inilah, pemerintah bersama Mahkamah Konstitusi perlu meninjau kembali konsep pemilihan legislatif. Jangan sampai praktik politik transaksional terus melahirkan kebijakan yang merugikan rakyat,” pungkasnya.
Polemik tunjangan perumahan dan transportasi pimpinan serta anggota DPRD Banyumas memantik respons berbagai elemen masyarakat. Diskusi publik digelar di Pendopo Satelit TV, Jumat (19/9/2025) malam, diikuti puluhan aktivis dari organisasi kampus dan masyarakat sipil.
Dr Hananto Prasetyo SH MH, salah satu tokoh masyarakat yang hadir dalam diskusi publik, mengkritik praktik politik uang dan gaya hidup elit sebagian anggota legislatif yang menurutnya lahir dari praktik sosial politik yang selama ini berlangsung.
Ia menilai fenomena itu membuat jarak antara wakil rakyat dan konstituen, sehingga memicu gerakan protes dan desakan perubahan kebijakan.
Hananto menyatakan tidak setuju dengan anggaran tunjangan perumahan dan transportasi yang dinilainya berlebihan untuk tunjangan dan fasilitas bagi DPRD Banyumas.Ia memberi contoh perilaku elit yang memamerkan penghasilan besar dari jabatan, yang menurutnya memperparah ketidakadilan anggaran publik.
Diketahui, polemik terkait tunjangan perumahan dan transportasi anggota DPRD Banyumas dimulai dari munculnya PP No 9 Tahun 2024 tentang
Perubahan Kelima atas Perbup No 66 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Banyumas ditetapkan tunjangan perumahan sebagai berikut:
– Ketua DPRD: Rp42.625.000
– Wakil Ketua: Rp34.650.000
– Anggota: Rp23.650.000
Tunjangan transportasi per bulan juga cukup besar:
– Ketua dan Wakil Ketua: Rp14.500.000
– Anggota: Rp13.500.000
Selain itu, anggota DPRD Banyumas juga menerima gaji pokok beserta 10 item tunjangan lain di luar gaji pokok, dan penerimaan lain seperti uang perjalanan dinas atau kunjungan kerja (Kunja). | Angga Saputra