
Transaksional dan mahal, itulah yang terjadi di masa pertumbuhan dan karut-marut demokrasi di Indonesia. Wajah permusyawaratan perwakilan seperti yang diamanatkan Pancasila masih jauh dari ideal. Partai politik tak kunjung berhasil mencetak kader negarawan. Yang ada hanya politisi “karier” bernafsu kekuasaan.
Di riak tampak saling menjatuhkan, benbenturan seperti bola lato-lato. Dikendalikan oleh bocah, bertangan tak berdosa. Lambat, laun, kian cepat dan keras. Sesekali mengenai tangan. Di kedalaman, sang pengendali adu lihai dan tertawa bersama. Tak ada permusuhan yang keras, lebih sering berbagi permen, dan saling menutupi keculasan teman. Bola lato berbenturan saling mementalkan, menyakitkan telinga.
Lihatlah di sana, ngopi bersama sambil berbagi kekuasaan. Saling melindungi kejahatan. Ketawa-ketiwi tanpa rasa dosa atas pengkhianatan. Seolah korupsi satu-dua milyar adalah memungut remah dari sebuah pesta. Menjadi penguasa yang bersyahwat rupiah membuncah luar-biasa. Membuat kebijakan yang jauh dari kata bijak kepada rakyat.
Saling memanfaatkan. Kelemahan lawan adalah keselamatan yang lain. Sesekali jantung berdegup agak kencang, siapa yang ditangkap, siapa yang bernyanyi, siapa yang dikorbankan. Tak ada yang berani bersorak, karena yang lain jatuh pun, bisa jadi dia ikut terpeleset.
Sementara rakyat dengan penuh harap, kadang bertengkar dengan sesama, berharap ada bantuan langsung tunai atau seolah sumbangan dari keluhuran budi majikannya. Sebuah hak warga ketika dalam kondisi sulit, turun tangan negara diperlukan.
Kebebasan semu bermedia, tak kunjung menjadi kekuatan penyeimbang. Seolah buta dan tuli melihat kondisi konkret masyarakat. Hukum masih impoten ketika berhadapan dengan uang yang begitu berkuasa. Runcing dan tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Jika ada perbaikan, belum signifikan dengan waktu tempuh bertolak dari reformasi. Masih terlihat aneka ketimpangan dan perlakuan tak fair dari aparat penegak hukum. Keberpihakan masih kepada yang kuat, bukan yang benar. Keadilan masih jauh dari harapan.
Keriiuhan sesaat, tren lato-lato hanya simbol. Bising dari benturan adalah kebahagiaan jika bertahan lebih lama. Tanpa irama, hanya penuh gaya