![]()
Ini negeri para pendongeng berjaya. Aneka macam dongeng dikemas menjadi komoditas yang laris. Dari roman picisan, hingga strategi bernegara. Dari dongeng kancil hingga kejayaan masa lampau.
Para pendongeng tampil dengan aneka gaya. Ada yang bermuka imut nan innocent face, wajah antagonis, cantik-jelita, sangar-gahar, sejuk, cerdas, atau bahkan menyebalkan. Semua bercerita tentang hal yang seolah dikuasainya.
Ada dongeng tentang surga-neraka, dengan aneka tawaran indahnya. Di tempat lain ada dongeng tentang alam keabadian. Semua laku keras dan berbayar mahal. Audien mabuk mendengarnya.
“Nenek moyang kita dulu bla.. bla.. bla..” atau, “Kejayaan leluhur kita telah berhasil ini dan itu..”
Terkesima kita dibuatnya. Terpana hingga lupa apa esensi dari sebuah dongeng. Ada pelajaran tentang hidup dan daya positif untuk membangkitkan RNA. Kita pernah jaya.
Kenapa kita bisa berjaya di waktu lampau? Semua hidup dengan rasa yang diekspresikan dengan budaya. Yang di pantai beraktualisasi dengan budaya maritim. Pun di sisi lain yang hidup di tengah benua, dengan agrarisnya.
Apa yang kita tidak punya? Aneka bahan tambang ada di sini. Minyak bumi Blok Rokan dan Cepu masih dikuasai oleh asing. Batubara di Kalimantan pun demikian. Negara dengan potensi cadangan mineral sangat tinggi. Pada mineral nikel, Indonesia menempati posisi ketiga teratas tingkat global. Belum lagi kontribusi sebesar 39% untuk produk emas, berada di posisi kedua setelah China.
Tiba-tiba kita terpuruk karena pandemi yang berlarut. Pun masih dibawa mendongeng tentang harapan. Walaupun rakyat paham bahwa si pendongeng dalam kebingungan akut.
Hentikan dongeng tentang Ratna mutu Manikam. Mari dendangkan Rayuan Pulau Kelapa agar bangkit bangsaku. Tahan rakus, tengoklah ke kanan-kiri, semua untuk Indonesia Raya..

Penulis: Rangga Sujali