BADAN legislasi DPR RI dan pemerintah untuk kedua kalinya dalam tahun ini menyepakati daftar rancangan undang-undang (RUU) yang masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Seperti pada Januari lalu, prolegnas yang disepakati mencakup 33 RUU. Bedanya, pada kesepakatan kali ini, RUU Pemilu ditarik dari daftar dan diganti RUU Ketentuan Umum Perpajakan. Kesepakatan itu masih harus mendapatkan pengesahan di Rapat Paripurna DPR RI. Fraksi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak RUU Pemilu dicoret dari usulan Prolegnas sangat mungkin melontarkan penolakan atas daftar rencana pembahasan RUU tersebut pada Rapat Paripurna. Keberatan kedua partai utamanya pada tertundanya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang habis masa jabatan mereka dalam kurun waktu 2022-2023.
Ada kekosongan kepemimpinan di daerah selama masa itu yang berpotensi membuat pembangunan daerah mandek. Kemudian, pelaksanaan pilkada pada 2024, tahun yang sama dengan pemilihan presiden dan legislatif, memberikan beban luar biasa besar pada penyelenggaraan. Hal itu berkaca pada Pemilu serentak 2019 yang tanpa pilkada saja sudah menimbulkan kelelahan petugas pemilu hingga merenggut korban jiwa. Akan tetapi, bila ditelaah lebih jauh, pencabutan rencana revisi UU Pemilu yang juga mencakup revisi UU Pilkada, mengusung kepentingan nasional yang lebih besar. Bukan sekadar gontok-gontokan memperebutkan kekuasaan. Pun ada wibawa pembentukan undang-undang yang dipertaruhkan.
BADAN legislasi DPR RI dan pemerintah untuk kedua kalinya dalam tahun ini menyepakati daftar rancangan undang-undang (RUU) yang masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Seperti pada Januari lalu, prolegnas yang disepakati mencakup 33 RUU. Bedanya, pada kesepakatan kali ini, RUU Pemilu ditarik dari daftar dan diganti RUU Ketentuan Umum Perpajakan. Kesepakatan itu masih harus mendapatkan pengesahan di Rapat Paripurna DPR RI. Fraksi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak RUU Pemilu dicoret dari usulan Prolegnas sangat mungkin melontarkan penolakan atas daftar rencana pembahasan RUU tersebut pada Rapat Paripurna. Keberatan kedua partai utamanya pada tertundanya penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang habis masa jabatan mereka dalam kurun waktu 2022-2023.
Ada kekosongan kepemimpinan di daerah selama masa itu yang berpotensi membuat pembangunan daerah mandek. Kemudian, pelaksanaan pilkada pada 2024, tahun yang sama dengan pemilihan presiden dan legislatif, memberikan beban luar biasa besar pada penyelenggaraan. Hal itu berkaca pada Pemilu serentak 2019 yang tanpa pilkada saja sudah menimbulkan kelelahan petugas pemilu hingga merenggut korban jiwa. Akan tetapi, bila ditelaah lebih jauh, pencabutan rencana revisi UU Pemilu yang juga mencakup revisi UU Pilkada, mengusung kepentingan nasional yang lebih besar. Bukan sekadar gontok-gontokan memperebutkan kekuasaan. Pun ada wibawa pembentukan undang-undang yang dipertaruhkan.
Tahun depan, pandemi covid-19 diperkirakan belum berakhir. Betul, pemerintah menargetkan vaksinasi tuntas pada triwulan ketiga 2022. Namun, pencapaian target memerlukan usaha keras dan kerja bareng. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, perlu memusatkan pikiran, tenaga, anggaran, dan kebijakan secara umum pada penanganan wabah covid-19 serta penuntasan vaksinasi. Hiruk-pikuk penyelenggaraan pilkada akan mengganggu konsentrasi, bahkan bisa menghambat penanggulangan pandemi. Apalagi, ada pilkada DKI Jakarta yang pada 2017 berlangsung begitu panas.
Tidak ada jaminan hal serupa tidak terulang kembali. Cekcok di tengah masyarakat hingga elite akan menimbulkan berbagai persoalan yang kontraproduktif terhadap upaya menyudahi pandemi covid-19. Hal lain yang perlu dicermati ialah amanat undang-undang yang menyerentakkan pemilihan legislatif, presiden, dan pilkada di 2024 belum dilaksanakan. UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada merupakan produk legislasi nasional yang tidak sembarangan disusun. Seyogianya, beri kesempatan aturan terlaksana demi kewibawaan undang-undang itu sendiri. Toh, kedua undang-undang itu disetujui oleh seluruh fraksi, termasuk Demokrat dan PKS.
Saat ini ada jeda waktu sekitar tiga tahun untuk mematangkan persiapan Pemilu serentak 2024. Semakin matang persiapan, maka musibah kelelahan petugas pemilu bisa terhindarkan. Demikian pula perihal kekhawatiran kekosongan kepemimpinan di daerah. UU Pilkada telah mengatur jabatan kepala daerah yang sudah berakhir diisi penjabat gubernur/bupati sampai kepala daerah baru dilantik.
Tentu ada keterbatasan kewenangan bagi penjabat kepala daerah. DPR dan pemerintah dapat membahas lebih lanjut perlu atau tidaknya kewenangan tersebut diperluas agar kemajuan daerah tidak terhambat. Rapat Paripurna DPR harus segera memutuskan nasib UU Pemilu dengan mengesahkan Prolegnas Prioritas 2021 tanpa RUU Pemilu di dalamnya. Dengan begitu, semua pemangku kepentingan bisa segera beranjak menyiapkan Pemilu serentak 2024.