INDIE BANYUMAS
  • BERANDA
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
INDIE BANYUMAS
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
INDIE BANYUMAS

PASAR SOSIAL SEBAGAI INSTRUMEN PEMERATAAN EKONOMI

DI ATAS BENDERA INDONESIA INCORPORATED

Prof Yudhie Haryono PhD (kiri) & Dr Agus Rizal

Selasa, 7 Oktober 2025

Prof. Yudhie Haryono PhD
(CEO Nusantara Centre)
Dr. Agus Rizal
(Ekonom Universitas MH Thamrin)

Pasar liberal itu menajamkan ketimpangan dan kesenjangan. Apa antitesanya? Pasar sosial. Bagi sistem ekonomi pancasila (SEP), kebijakan pasar sosial bukan sekadar ruang transaksi barang dan jasa, melainkan instrumen strategis untuk menjamin distribusi ekonomi yang adil, merata dan milik semua yang terlibat di dalam sistem itu. Karenanya, pasar sosial bukan hantu dan hutan yang tak bertuan.

Tentu saja, mekanisme ini dirancang sebagai penyeimbang antara logika pasar dan peran negara. Tujuannya jelas: menjaga keterjangkauan harga, memperluas akses, serta menciptakan kesempatan kerja yang lebih merata: ujungnya menghabisi kemiskinan. Dengan kerangka demikian, kebijakan pasar sosial berfungsi bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga sosial, sehingga kesejahteraan tidak menjadi hak istimewa segelintir kelompok.

Dalam praktiknya, kebijakan pasar sosial diwujudkan dalam berbagai bentuk: pasar warga negara, toko modern, platform digital, hingga jaringan logistik dan kemitraan distribusi. Cara kerjanya kolaboratif demokratis; gotong-royong, bukan gotong nyolong. Dengan pengaturan ini, warga negara dari berbagai lapisan, baik di kota maupun desa, memiliki akses yang sama terhadap kebutuhan pokok maupun barang konsumsi. Prinsipnya sederhana: kebijakan pasar sosial hadir di setiap kanal distribusi untuk memastikan pemerataan.

Keberadaan kebijakan pasar sosial menekankan asas keadilan, kesentosaan, serta kerjasama sehat-demokratis-kesetaraan. Artinya, mekanisme pasar tidak dibiarkan liar sebagaimana yang terjadi dalam sistem pasar liberal. Sebaliknya, ia diarahkan agar tidak menimbulkan eksploitasi dan ketimpangan. Negara berperan aktif memastikan distribusi berjalan adil, sementara warga negara diberi ruang partisipasi yang nyata dalam aktivitas ekonomi.

Dalam kerangka itu, praktik monopoli, oligopoli, mafia, kartel dan bentuk persaingan curang tidak boleh mendapat tempat. Kebijakan pasar sosial menegaskan pentingnya perlindungan terhadap usaha kecil, koperasi, dan pelaku ekonomi lokal agar tidak terpinggirkan oleh dominasi korporasi besar maupun platform digital. Dengan begitu, pasar menjadi arena yang lebih setara, bukan gelanggang yang hanya menguntungkan pemodal kuat.

Lebih jauh, kebijakan pasar sosial memberi mandat bagi negara untuk memfasilitasi akses dan memperkuat daya saing usaha kecil dan koperasi. Dukungan ini mencakup pembiayaan, promosi, ruang rak minimum bagi produk lokal di ritel modern, biaya platform digital yang wajar, serta mekanisme pembayaran yang tidak merugikan pemasok kecil. Semua kebijakan tersebut memastikan usaha warga negara tidak sekadar bertahan, tetapi juga berkembang.

Intervensi negara juga dibenarkan ketika harga kebutuhan melambung tinggi, stok tidak memadai, atau distribusi terganggu. Melalui operasi pasar, subsidi terarah, dan kebijakan stabilisasi, pemerintah menjaga keseimbangan agar pasar tetap melayani kepentingan publik. Harga-harga akhirnya terkelola, terjangkau dan memenuhi hajat dan hak dasar warga-negara.

Intervensi semacam ini bukan bentuk distorsi, melainkan koreksi atas kegagalan pasar yang berulang kali terbukti merugikan kelompok rentan. Dengan langkah ini, elastisitas permintaan dan penawaran tetap terjaga, sehingga fluktuasi harga maupun kekurangan pasokan tidak merugikan produsen maupun konsumen.

Secara ideologis, kebijakan pasar sosial juga menegaskan sikap menentang neoliberalisme yang beranggapan bahwa pasar dapat terbentuk dengan sendirinya. Konsep “harga pasar” yang diklaim mengikuti hukum ceteris paribus hanyalah ilusi yang mengabaikan fakta ketimpangan kekuatan antara pelaku besar dan kecil. Pasar (liberal) tidak pernah netral; ia selalu dipengaruhi relasi kuasa dan struktur distribusi.

Di sinilah relevansi pemikiran Joseph Stiglitz (2012), yang menegaskan bahwa pasar sering gagal (market failure) karena adanya asimetri informasi, konsentrasi modal, dan eksternalitas yang merugikan kelompok lemah. Dengan demikian, kebijakan pasar sosial adalah jawaban realistis sekaligus antitesis terhadap dogma ceteris paribus, karena menempatkan regulasi negara dan kepentingan warga negara sebagai pusat, inti dan utama.

Dengan demikian, dalam Undang-undang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial (UUPNKS) yang segera terbit akan menempatkan kebijakan pasar sosial sebagai strategi penting dalam mewujudkan pemerataan ekonomi. Regulasi ini berfungsi menutup kesenjangan antara pelaku besar dan kecil, melindungi konsumen dari gejolak harga, memperkuat perekonomian nasional berbasis Pancasila, serta menutup celah terhadap spekulasi pasar.

Dengan desain pasar sosial ini, semua upaya jahat (mencuri, menipu, mark up, dominasi, monopoli, oligopoli, mafia, kartel) segera dihapuskan dari sistem ekonomi kita. Jika dijalankan secara konsisten, kebijakan pasar sosial akan menjadi fondasi ekonomi berkeadilan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga menjamin keberlanjutan, pemerataan dan kesejahteraan seluruh warga negara.(*)

ShareTweetKirimkan
Sebelumnya

Job Fair Banyumas 2025 Tawarkan 5.880 Lowongan Kerja

Tentang Kami / Redaksi
Pedoman Media Siber / Independensi & Donasi

© 2021 indiebanyumas.com

Tentang Kami / Redaksi / Pedoman Media Siber / Independensi & Donasi

© 2021 indiebanyumas.com
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • BERANDA
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI

© 2021 indiebanyumas.com