PURWOKERTO — Akademisi sekaligus CEO Nusantara Centre, Prof. Yudhie Haryono, Ph.D., menegaskan perlunya perubahan arah ekonomi nasional melalui pembentukan konstitusi baru. Hal ini disampaikan dalam diskusi santai bersama komunitas Banyumas Bebas Bicara (BBB) di Wisata Kuliner Punakawan, Purwokerto, Minggu (5/10/2025).
Menurut Yudhie, konstitusi lama tidak memberikan mandat imperatif yang cukup kuat bagi negara untuk mengatur proyek-proyek non-nasional secara tegas melalui undang-undang.
“Pasal 33 ayat 5 memang memerintahkan pengaturan lewat undang-undang, tapi tidak tekstual dan tidak tegas,” ujarnya.
Ia menyebut gagasan rekonstitusi yang tengah digodok merupakan mandat langsung dari Presiden sebagai respons terhadap apa yang ia sebut sebagai “serangan ekonomi” oleh lima kelompok yang dinilai merusak kedaulatan nasional:
1. Pejabat lama yang korup
2.Pengusaha swasta lama yang menguasai kekayaan nasional
3.Aliansi penguasa korup dalam negeri dan pengusaha korup luar negeri
4. Pegawai Indonesia yang berkolaborasi dengan pebisnis asing melalui praktik transfer pricing
5. Swasta lokal yang membiayai Omnibus Law dan mendapat privilege atas aset strategis
“Omnibus Law menafsirkan konstitusi secara keliru. Akibatnya, kita kehilangan kendali atas nikel, tanah jarang, air, udara, dan sumber daya alam lain yang seharusnya untuk kemakmuran rakyat,” tegas Yudhie.
Dalam rancangan Undang-Undang Perekonomian Nasional yang sedang dirinya susun, Yudhie menyebutkan tiga agenda utama: rekonstitusi, renasionalisasi, dan reindustrialisasi.
“Rekonstitusi untuk memperbaiki arah konstitusi lama, renasionalisasi untuk mengembalikan aset strategis ke tangan negara, dan reindustrialisasi untuk membangkitkan industri nasional,” jelasnya.
Ia menyoroti bahwa Indonesia mengalami deindustrialisasi parah dalam dua dekade terakhir, dengan penurunan ekspor industri hingga 90 persen dan lonjakan pengangguran lebih dari 200 persen.
Dalam konteks fiskal, Yudhie juga menyinggung defisit APBN yang dihadapi dua presiden terakhir.
“Pak Jokowi menghadapi defisit 42 persen, dan Pak Prabowo kini sekitar 60 persen. Keduanya terjebak pada ketergantungan utang,” katanya.
Sebagai solusi, ia mengusulkan konsep Sovereign Welfare Fund (SWF), yakni mekanisme pencetakan uang berbasis aset strategis nasional. Namun, menurutnya, pelaksanaannya telah dibajak oleh kepentingan neoliberalisme.
“SWF seharusnya jadi alat negara untuk mengatasi defisit tanpa utang luar negeri,” ujarnya.
Yudhie menutup diskusi dengan refleksi tajam:
“Indonesia harus memastikan rakyat bisa makan layak, bukan satu juta, tapi lima belas juta orang per hari. Selama aset strategis dikuasai segelintir konglomerat dan asing, rakyat tidak akan sejahtera.”
Diskusi tersebut turut dihadiri sejumlah aktivis, seperti Yon Daryono, Surya Esa, Era Riversyde, Wira Agung, dan beberapa tokoh lainnya.
“Saya berharap forum seperti ini bisa rutin digelar, agar lahir solusi konkret dari berbagai persoalan nasional maupun lokal,” ujar Surya Esa. (Angga Saputra)