Dalam bukunya Mike Berry memberikan gambaran mengenai Neoliberalisme yang mulai tumbuh sejak tahun 1979, kemudian terus berkembang hingga puncak pada krisis ekonomi 1997 yang melanda seluruh dunia. Dampak dari adanya krisis ekonomi ini menyebabkan terpuruknyua eknomi sejumlah negara, seperti di wilayah Asia Tenggah, Mexico dan sejumlah negara lainya.
Neoliberalisme pada awalnya merupakan jawaban dari sistem dunia, yang berpandangan bahwa pemodal memiliki kekuatan untuk melakukan berbagai upaya dalam mengusai pasar. Selanjutnya negara khanya melakukan pengaturan terhadap sejumlah kebijakan, yang beriisi mengenai kemudahan dalam berusaha.
Tapi pada prakteknya Neoliberalisme mengarah pada kebijakan kekuatan pemodal untuk mengatur segalanya dan mengarahkan ke seluruh dunia. Kelompok pemodal ini juga mengarahkan pada sebuah negara untuk mengatur mengenai pajak yang rendah, regulasi yang mudah, kemudian dalam fiskal maupun moneter, meminta adanya privatisasi perusahaan negara dan industry yang dikuasi oleh negara.
Selain itu meminta agar sebuah negara tidak ikut campur terlalu banyak, mengenai sisi ekonomi dan juga produksi terutama yang menguasai banyak orang. Melemahnya hak-hak karyawan dan penyediaan negara kesejahteraan, deregulasi pasar, perbatasan perdagangan terbuka, rendah inflasi dan stabilitas harga.
Mike Berry menuliskan para pendukung liberalisme ekonomi, seperti Mont Pelerin Society, Freiburg Ordoliberalism School dan kemudian Chicago School of Ekonomi (Venugopal 2015). Namun, selama tahun 1970-an pasca perang dunia kedua terjadi ledakan ekonomi meningkat, pada saat itu kapitalisme menghadapi sejumlah tantangan yang mengancam stabilitas dan profitabilitasnya.
Termasuk retaknya tatanan ekonomi pasca perang yang berpusat di AS, serangkaian guncangan harga minyak, perlambatan pertumbuhan produktivitas dan tekanan pada keuntungan karena peningkatan kekuatan tenaga kerja terorganisir (Glyn 2006).
Agar masyarakat dunia menerima Neoliberalisme para pemilik modal dan oligarki melakukan berbagai kampanye, selain melakukan lobi kuat kepada penguasa suatu negara. Mempergunakan media massa untuk mengkapanyekan paham- paham Neoliberalisme, sehingga dunia menerima Neoliberalisme sebagai sebuah hal yang wajar bahkan sebuah kebutuhan agar suatu negara maju maka harus perpandangan Neoliberalisme yang salah satu pilarnya yakni terciptanya pasar bebas.
Media massa pada awalnya sebagai alat propaganda oleh kelompok Neoliberalisme, namun karena keuntungan yang didapat maka muncul fenomena media massa yang dimiliki oleh seseorang, maupun segelintir kelompok. Mereka ini menguasai hampir di semua jenis media massa, bahkan mereka membuat sindikasi jaringan perusahaan media.
Tidak hanya pada satu jenis media massa saja namun mengusai berbagai jenis media massa dengan membentuk perusahan induk. Sifat dari Neoliberalisme adalah kekuatan modal, maka perusahaan media massa ini melakukan ekspansi ke seluruh dunia.
Munculnya internet di dekade 90an, kemudian semakin berkembang pada tahun 2000an membuat peralihan media massa, dari media konvensional seperti radio, koran, televisi, mulai mempergunakan internet sebagai bagian dari perluasan pasar. Pada akhirnya internet pula merubah stuktur media massa konvensional.
Neoliberalisme setelah mengusai hampir seluruh sendi kehidupan di dunia, melalui kebijakan, melalui media massa. Munculnya internet membuat Neoliberalisme semakin kuat menancapkan pengaruhnya, dan juga kuasa di dunia.
Neoliberalisme Media di Indonesia
Tidak jauh berbeda dengan adanya monopoli oleh kepemilikan atau group media massa di dunia, yang dikuasai oleh sejumlah jaringan. Di Indonesia pun sama, sejumlah group media massa mengusai media di Indonesia, mulai dari koran, radio, televisi dan online.
Sedikitnya terdapat delapan group pemilik media besar yang mengusai lebih dari separuh media masa yang beredar di Indonesia. Mereka mengusai jaringan telivisi, radio, koran atau majalah, media online.
Dengan akses informasi hanya dikuasai oleh sekelompok pemilik modal, menjadikan kekhawatiran terhadap independensi dan juga ketersedian informasi, berita yang objektif, berimbang dan bebas dari kepentingan politik media, atau pemilik modal. Sebab media merupakan pilar keempat demokrasi seperti yang dituliskan oleh Norris (2000).
Dirinya merumuskan bahwa media massa memiliki tiga fungsi utama, yakni sebagai forum warga (civic forum), (2) sebagai pengawas pemerintah atau lembaga-lembaga publik (watch-dog) dan (3) sebagai agen mobilisasi dukungan warga terhadap suatu isu yang dianggap sebagai bagian dari hajatan hidup masyarakat.
Sementara itu, peneliti komunikasi Noam Chomsky (1997) dalam bukunya Media Control: The Spectacular Achievement of Propaganda, menjelaskan bahwa fakta yang ada di media massa merupakan realitas yang dikontruksi oleh media. Sehingga tidak seluruhnya fakta yang ada dimunculkan, demi mendukung kepentingan dari media massa yang ada. Dengan kata lain, media massa membuat framing sebuah peristiwa sesaui dengan idiologi atau kepentingan dari media tersebut.
Kekhawatiran terhadap ketidak objektifan media massa, diperparah dengan pemilik modal yang menjadi pemimpin dari suatu partai politik. Sehingga masyarakat khawatir media massa sebagai penyimbang, kritik terhadap Pemerintah ataupun kelompok tertentu akan semakin kecil perannya. Karena pemilik media menjadi, pimpinan atau pengurus Partai Politik tertentu.
Masyarakat sebagai pemilik hak untuk mendapatkan informasi, berita, ataupun tanpa adanya kepentingan tertentu termasuk dari pemilik atau kelompok media. Media massa pun harus memiliki kewajiban memberikan informasi yang objektif, berimbang dan bebas nilai dari kepentingan penguasa atapun pemilik modal. Hal ini sesaui dengan Kebebasan pers dalam demokrasi di Indonesia ditandai dengan dikeluarkannya Undang Undang (UU) Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor 21 tahun 2002 tentang Penyiaran.
Dampak informasi yang liberalisasi dalam media massa, selain menimbulkan kelompok kecil yang mengusai arus besar informasi, juga tidak adanya keberimbangan informasi, minimnya kontrol terhadap Pemerintah. Minim diskusi di ruang publik, informasi yang seragam serta ketidak percayaan publik terhadap media massa.
Penulis:
Ustad Mukorobin,
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi
Universitas Jenderal Soedirman