Wahyu Riyono SE MM
Jika ditanya siapa kelompok masyarakat yang paling termarginalkan di negeri ini ?
Ya, Buruh Tani.
Dari kacamata sektor pertanian, Buruh Tani bukanlah Petani, bukan pemilik lahan maupun penyakap. Buruh tani adalah pekerja di sektor pertanian yang masuk dalam ranah perburuhan/ketenagakerjaan.
Namun jika dilihat dari kacamata perburuhan, Buruh Tani ini tidak masuk dalam nomenklatur peraturan tentang ketenagakerjaan. Sebagai gambaran, Buruh Tani tidak ada Upah Minimum Regional (UMR), tidak dilindungi Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dan tidak dibela dalam demo-demo di Hari Buruh.
Jika saat ini nasib buruh di Indonesia yang masuk nomenklatur saja secara umum hidupnya memprihatinkan dan pas-pasan; nah Buruh Tani ini kehidupan sosial ekonominya dibawah pas-pasan. Sehingga Buruh Tani merupakan penyumbang terbesar kemiskinan di Indonesia terutama di Pedesaan.
Swasembada Pangan dan Paradoks Upah Buruh Tani
Presiden Prabowo dalam pidato perdananya sebagai Presiden mencanangkan Swasembada Pangan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Cita-cita Swasembada Pangan ini kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Kementerian Koordinator bidang Pangan dan langkah konkret Kementerian Pertanian dengan beberapa upaya seperti ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian untuk menggenjot produksi pangan.
Swasembada pangan bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan Indonesia tidak tergantung pada impor bahan pangan.
Selain gandum, impor pangan seperti beras, gula, kedelai, jagung, daging dan bawang putih, sejatinya terjadi bukan karena Indonesia tidak mampu memproduksi, tapi karena harga bahan-bahan pangan tersebut di dalam negeri lebih tinggi daripada harga pangan di negara produsen luar negeri. Impor terjadi karena ada “cuan” yang cukup lebar.
Tingginya harga pangan atau produk pertanian di dalam negeri karena biaya produksi petani mahal dan belum efisien. Salah satu faktor penyebab mahalnya biaya produksi adalah tingkat upah tenaga kerja yang relatif tinggi.
Persoalan ini memang paradoks, dimana nilai upah tenaga kerja/buruh tani rendah tapi tingkat upah atau biaya untuk upah per kilogramnya justru tinggi. Hal ini disebabkan beberapa faktor seperti luas garapan lahan yang rata-rata gurem (dibawah 0,5 ha) dan penggunaan teknologi yang masih manual dengan tingkat pendidikan petani dan buruh tani yang umumnya rendah.
Perlu Langkah Terobosan Kemnaker
Sudah semestinya untuk mewujudkan Swasembada pangan harus memakmurkan dulu para petani dan buruh tani; dimana petani mendapatkan keuntungan dari usaha taninya, dan buruh tani mendapatkan upah yang layak.
Untuk petani, banyak program dari Kementan seperti subsidi pupuk, bibit dan pendampingan manajemen. Namun untuk buruh tani belum ada yang menaungi.
Buruh tani semestinya tercatat dalam nomenklatur di bidang ketenagakerjaan. Kemnaker bukan hanya mengurusi buruh pabrik, industri dan perdagangan saja, tapi perlu mengurusi dan menaungi buruh tani juga.
Kondisi Buruh Tani di Indonesia ini penting untuk diperhatikan agar tidak terus-menerus termarginalkan. Kemnaker dibawah Komando Prof Yassierli dan Wamen Bung Immanuel “Noel” Ebenezer diharapkan dapat membuat langkah terobosan untuk meningkatkan kapasitas, harkat martabat dan kesejahteraan Buruh Tani, sekaligus mewujudkan Swasembada Pangan bagi Bangsa Indonesia.
______
Penulis adalah Alumnus MM Agrobisnis Unsoed Purwokerto dan Program Doktor Ekonomi Pertanian UB Malang