FOKUS– Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas menyayangkan adanya perjanjian kerja sama antara Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dengan sejumlah kepala sekolah yang dinilai berpotensi melemahkan koordinasi antar lembaga. Sorotan khusus diberikan pada poin 5 dan 7 dalam nota kesepahaman (MoU) tersebut.
Kepala Bidang Pembinaan Sekolah Dasar, Dinas Pendidikan Banyumas, Taryono ST MPA menyebutkan bahwa kedua poin tersebut menimbulkan kekhawatiran, terutama terkait tanggung jawab kepala sekolah dalam hal kerusakan alat makan dan pembatasan pelaporan jika terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti keracunan makanan.
“Template MoU itu berasal dari Badan Gizi Nasional (BGN) pusat. Saat ini sedang direvisi, dan MoU lama telah dibatalkan dengan penghapusan poin 5 serta perbaikan redaksional pada poin 7,” ujar Taryono, Jumat (26/9/2025).
Ia menambahkan bahwa pihaknya telah mengonfirmasi langsung kepada
Kepala Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi Kabupaten Banyumas, Luky Ayu Parwati Ningsih yang membenarkan bahwa MoU tersebut merupakan turunan dari Peraturan Kepala BGN.
“Saya sudah komplain di depan DPRD, dan mereka merespons bahwa akan ada perubahan,” katanya.
Dalam rapat bersama Komisi IV DPRD Banyumas, perwakilan BGN menyampaikan bahwa revisi Perka BGN sedang dilakukan. Poin 5 yang mewajibkan kepala sekolah mengganti alat makan yang rusak akan dihapus, sementara redaksi poin 7 yang melarang kepala sekolah melapor akan diubah.
“Kami masih menunggu bentuk final MoU baru dari BGN. Belum turun,” tambahnya.
Adapun isi MoU mencakup ketentuan sebagai berikut:
- Pihak pertama (SPPG) mengirimkan paket makan bergizi gratis selama satu tahun sebagai tahap peninjauan.
- Pihak kedua (sekolah) menerima dan membagikan paket makanan kepada siswa.
- Jumlah paket disesuaikan dengan data dari pihak sekolah.
- Peralatan makan harus dikembalikan sesuai jumlah yang dikirim.
- Kerusakan atau kehilangan alat makan dikenakan biaya Rp80.000 per unit.
- Pengiriman makanan ditunda jika terjadi bencana, hingga situasi stabil.
- Dalam kondisi luar biasa seperti keracunan, pihak sekolah diminta menjaga kerahasiaan informasi hingga solusi ditemukan.
Poin terakhir inilah yang menjadi sorotan berbagai pihak karena dinilai bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi publik dan dapat menghambat penanganan cepat jika terjadi insiden. (Angga Saputra)


