FOKUS– Polemik Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 9 Tahun 2024 tentang tunjangan pimpinan dan anggota DPRD Banyumas dinilai telah berkembang menjadi krisis kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif daerah. Hal ini disampaikan oleh Ketua Dewan Pendiri LSM Pijar, Adhi Wiharto, dalam pernyataannya kepada media.
Menurut Adhi, kontroversi terkait besaran tunjangan yang disebut jauh melampaui Upah Minimum Kabupaten (UMK) Banyumas telah memicu kemarahan masyarakat. Ia menilai bahwa angka tunjangan yang fantastis menunjukkan ketidakpekaan DPRD terhadap kondisi sosial-ekonomi warga.
“Publik tidak lagi hanya mempermasalahkan angka tunjangan, tetapi juga simbol kepemimpinan. Ketua DPRD kini dipersepsikan sebagai wajah dari kebijakan yang tidak adil,” ujar Adhi.
Ia menambahkan, krisis legitimasi seperti ini dapat menggerus kewibawaan DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan, legislasi, dan penganggaran. Keputusan DPRD berpotensi dipandang tidak lagi murni demi kepentingan publik, melainkan demi kepentingan elit.
Aspek Hukum Dipertanyakan
Pendiri Tribrata Banyumas, Nanang Sugiri, turut menyoroti aspek hukum dari Perbup tersebut. Menurutnya, meski secara formal sah, regulasi ini dipertanyakan dari sisi asas-asas hukum yang berlaku.

Nanang menyebut tiga poin utama:
– Asas Kewajaran: Besaran tunjangan dinilai tidak sebanding dengan kondisi ekonomi masyarakat.
– Asas Kepastian Hukum: Regulasi berpotensi retroaktif dan menimbulkan ketidakpastian dalam tata kelola keuangan daerah.
– Asas Transparansi: Proses appraisal dan penetapan angka tunjangan dinilai tidak sepenuhnya terbuka kepada publik.
“DPRD Banyumas gagal menunjukkan peran sebagai penjaga kepastian hukum. Padahal, fungsi legislatif adalah memastikan regulasi tidak bertentangan dengan norma hukum dan rasa keadilan rakyat,” tegas Nanang.
Jurang Representasi Politik
Adhi Wiharto juga menyoroti ketimpangan antara kondisi masyarakat dan fasilitas yang diterima pimpinan DPRD. Ia menyebut, masyarakat Banyumas harus bertahan hidup dengan UMK Rp 2,2 juta, sementara Ketua DPRD menerima tunjangan lebih dari Rp 57 juta per bulan hanya untuk perumahan dan transportasi.
“Ketimpangan ini melahirkan kemarahan publik. Politik kehilangan makna representasi, berubah menjadi arena pembagian privilege,” kata Adhi.
Seruan Penyegaran Kepemimpinan
Di tengah krisis ini, Adhi menilai bahwa penyegaran pimpinan DPRD bukan lagi sekadar opsi, melainkan keniscayaan. Ia mengusulkan tiga langkah strategis:
1. Memulihkan Kepercayaan Publik: DPRD membutuhkan figur baru yang mampu merespons keresahan rakyat.
2. Mengembalikan Marwah Lembaga: DPRD harus kembali pada fungsinya sebagai pengawas eksekutif.
3. Membangun Politik Etis: Pergantian pimpinan dapat menjadi momentum menegakkan standar moral baru dalam politik lokal.
“Penyegaran bukan sekadar soal siapa yang duduk, tetapi bagaimana DPRD menunjukkan kemauan memperbaiki citra dan membuka ruang partisipasi masyarakat,” ujarnya.
Usulan Tindakan Konkret
Adhi juga mengajukan sejumlah langkah konkret untuk mengatasi krisis ini:
– Audit independen terhadap Perbup 9/2024 dari aspek hukum, anggaran, dan keadilan sosial.
– Dialog terbuka yang melibatkan Pemkab, DPRD, aparat penegak hukum, akademisi, dan masyarakat sipil.
– Evaluasi kepemimpinan Ketua DPRD oleh fraksi-fraksi.
– Revisi regulasi secara transparan dan berbasis data.
– Dorongan kepada Kemendagri untuk meninjau ulang standar tunjangan DPRD secara nasional.
Momentum Reformasi Politik Lokal
Adhi menegaskan bahwa polemik Perbup 9/2024 hanyalah pintu masuk menuju reformasi politik lokal yang lebih luas. Ia mengingatkan bahwa jika Bupati dan DPRD tidak segera mengambil sikap, gelombang protes masyarakat akan semakin meluas.
“Jabatan politik tidak boleh hanya menjadi ajang berburu fasilitas, melainkan harus menjaga amanat rakyat dan menjadi instrumen keadilan sosial,” pungkasnya. (Tim Redaksi)