Reporter: Yon Daryono
Keriput kulit dan rambut putih Daikem menjadi penanda bahwa usianya tidak lagi muda. Namun semangat nenek 62 tahun ini, terus menyala. Laksana cahaya bola lampu Listrik. Di antara gelapnya malam hutan lereng selatan Gunung Slamet.
Daikem setiap Sabtu dan Minggu
berjualan minuman dan makanan ringan di samping kawasan wisata mata air Kali Pagu. Salah satu sumber mata air untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Ketenger, Baturraden, di Jawa Tengah.
Jiwa Daikem pun tidak pernah padam menunggu para pengunjung yang berwisata di Area Curug Jenggala. Satu area di jalur pipa baja raksasa PLTA Ketenger sepanjang 778 meter dengan diameter 1,4 meter.
Siang menjelang sore itu, baru dua air mineral seharga Rp 5 ribu per botolnya yang laku terjual pada rombongan remaja yang bertamasya. Satu cangkir kopi seharga Rp 3 ribu telah dipesan wisatawan lainnya.
Warga RT 03 RW 04 Desa Ketenger, di Kecamatan Baturraden, Kabupaten Banyumas ini hidup sendiri. Anak satu-satunya merantau ke Jakarta mengais rizki. Sementara suami Daikem telah meninggal dua tahun yang silam karena sakit.
”Saya di rumah sendirian. Paling keponakan-keponakan yang masih satu desa kadang datang menjenguk ke rumah. Anak saya pulangnya dari Jakarta juga tidak tentu. Saya jualan di area PLTA Ketenger sejak lama,” ujar Daikem saat ditemui Sabtu (18/11).

Pembangkit Listrik Tertua
PLTA Ketenger menjadi satu di antara pembangkit listrik tertua dan paling ramah lingkungan di Indonesia. Uniknya lagi, jaringan pembangkit ini masih beroperasi, sejak dibangun pertama kali di era Kolonial Belanda dari tahun 1935 dan selesai tahun 1939.Kawasan ini berada di ketinggian 800 meter di atas permukaan laut.
Pemerhati sejarah Banyumas, dr Sudarmadji mengatakan, data dibangunnya PLTA Ketenger tercatat pada koleksi kliping surat kabar kuno zaman Belanda dan catatan laporan Residen Banyumas kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia kala itu.
Pada awalnya pembangkit listrik Ketenger dibangun Belanda untuk menyuplai listrik sejumlah pabrik gula Isola Purwokerto dan Kalibagor Sokaraja. Termasuk pabrik gula Klampok, Banjarnegara. Listrik dipakai untuk menggerakan mesin-mesin raksana penggiling tebu di masa kejayaan industri gula.
“Listrik dari PLTA Ketenger kemudian dipakai juga menerangi rumah-rumah pejabat pabrik gula dan pejabat Hindia Belanda, bangsa Eropa yang tinggal di Purwokerto dan sekitarnya,” ujar dr. Sudarmadji ketika ditemui beberapa waktu lalu.
Dengan teknologi yang dirancang oleh Insinyur GS Goemans berbiaya 15 juta Gulden, PLTA Ketenger tidak menghasilkan gas pembakaran, maupun limbah abu. Pembangkit listrik Ketenger bahkan tidak mengganggu aktivitas masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Tempat Nenek Daikem dan warga lainnya tinggal.
Ramah Lingkungan
Di sini PLTA Ketenger merupakan pembangkit listrik yang ramah terhadap lingkungan sekitar. Memanfaatkan ketinggian jatuh air untuk menggerakkan turbin generator. Dalam perkembangannya sekarang, pembangkit Ketenger digunakan memasok listrik bagi Unit Pembangkitan (UP) Mrica, Jawa Tengah.
Sudah 86 tahun beroperasi, PLTA Ketenger ditopang dengan tiga unit mesin pembangkit berkapasitas 8,5 Megawatt. Ditambah satu unit berkapasitas 0.5 megawatt. Selain itu PLTA Ketenger memiliki nilai historis, dan ekonomis bagi masyarakat di sekitarnya dengan tumbuhnya sektor pariwisata.
“Malah sae. Kula saged mados rejeki sadean. Ingkang sami jalan-jalan plesir dinten Sabtu lan Minggu kathah saking pundi-pundi. (Malah saya suka. Saya bisa jualan karena banyak yang datang untuk berwisata di hari Sabtu dan Minggu. Mereka banyak dari sejumlah tempat ke sini).” kata Daikem.

Pembangkit listrik tenaga air Ketenger berbeda dengan PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel), atau Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Dua yang terakhir dapat menghasilkan residu polusi bila tidak diantisipasi. Baik residu pembakaran bahan bakar solar atau batubara, dan polusi suara dari bisingnya mesin-mesin. Sementara pembangkit listrik Ketenger tidak memiliki polusi apapun.
​”Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Ketenger di Banyumas adalah contoh infrastruktur energi yang memanfaatkan sumber daya terbarukan secara efektif. Dari perspektif lingkungan, keunggulan utamanya sangat signifikan jika dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga fosil,” ujar Dr Barid Hardianto, Manajer Program Lembaga Penelitian Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH), salah satu NGO yang berkantor di Purwokerto, Minggu (19/11).
Ditambahkan oleh Dr Barid, ​PLTA Ketenger mengandalkan energi kinetik air untuk menggerakkan turbin, sehingga operasinya tidak menimbulkan polusi udara.
“Kita tidak menemukan adanya pembakaran batubara ataupun solar, yang berarti PLTA ini tidak berkontribusi pada emisi gas rumah kaca atau polutan udara berbahaya yang sering menjadi masalah di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) atau Diesel (PLTD),” ujar Barid.
Hal itu menurut Dr Barid sangat selaras dengan program Presiden Prabowo Subianto yang baru saja meresmikan 37 proyek ketenagalistrikan di 19 provinsi di awal tahun 2025. Termasuk proyek energi terbesar di dunia, 3,2 gigawatt sekaligus.
“Presiden Prabowo menjadi pemimpin yang konsen pada transformasi energi, menjadi energi terbarukan, energi bersih, green energy, mengurangi emisi karbon,” ujar Dr Barid.
PLN saat ini di tangan Direktur Utama PT PLN (Persero) Darmawan Prasodjo menurut Dr Barid, PLN sudah dalam rel yang tepat. Dengan mengkampanyekan energi bersih, dan juga energi baru terbarukan (EBT) sebagai porsi yang sangat besar.
“Berbasis energi bersih menjadi bagian dari transisi energi mengurangi emisi karbon lebih banyak. Mencapai 14 juta ton per tahun,” ujar Dr Barid.
Terakhir Dr Barid mengatakan, bahwa di tengah semangat Presiden Prabowo Subianto dan Direktur Utama PLN Persero Darmawan Prasodjo, masih ada pekerjaan rumah bagi PLN sebagaimana disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia saat menghadiri Bantuan Pasang Baru Listrik di di Dusun Sungai Putih, Desa Bandar Jaya, Kamis (16/10/2025).
“Masih terdapat 5.700 desa yang belum ada listriknya. Termasuk 4.400 dusun di seluruh Indonesia. Hal ini tentu saja bisa dicarikan jalan keluarnya. Contoh bisa memberdayakan kemandirian energi dalam skala kecil dengan mencontoh teknologi seperti di PLTA Ketenger dengan memanfaatkan energi kinetik bila memungkinkan. Selain ramah lingkungan juga tidak mengurangi debit air yang akan dipakai oleh masyarakat,” kata Dr Barid.

Kembali ke 86 tahun silam, Insinyur GS Goemans seakan telah paham bahwa karyanya akan memiliki dampak luas melintasi waktu saat merancang PLTA Ketenger.
Karya besar GS Goemans menjadi saksi bagi masyarakat yang hidup di sekitar jaringan pipa baja raksasa sepanjang ratusan meter. Mereka berdampingan berpuluh-puluh tahun lamanya. Seakan menjadi nadi kehidupan dari generasi ke generasi seperti Nenek Daikem hingga kini. (*)