Wahyu Riyono SH MM
Bagi generasi Gen X, Baby Boomer dan Pre-Boomer pasti masih ingat; tapi sebagian generasi Milenial dan Gen-Z mungkin tidak tahu, bahwa pada masa Orde Baru dulu hegemoni kekuasaan ditangan ABG yaitu ABRI (kini TNI dan Polri), Birokrasi dan Golkar (versi Orba). ABG dengan nasab kesetiaan pada satu figur : SOEHARTO.
Pengusaha, pedagang, petani bahkan UMKM jika ingin usahanya lancar dan nyaman maka pilihannya ada 2 : berkomplot dengan ABG atau diam.
Sementara para politisi diluar ABG harus berdarah-darah, mendapat tekanan dan banyak penyulit untuk bisa duduk di kursi Legislatif dan hampir pasti tidak mungkin terpilih menjadi Eksekutif.
Bupati atau Walikota hampir pasti milik ABRI berpangkat minimal Letkol; atau Birokrat golongan tertentu yang terbukti setia pada “sumbernya” yaitu Soeharto. Pemilihan hanya kedok, yang sejatinya adalah pengangkatan.
Reformasi 98 bergulir, harapan baru muncul. Semua orang punya kesempatan yang sama untuk duduk di kursi Legislatif maupun Eksekutif. Tentu dengan batas yang diatur Undang-undang.
Hegemoni ABG memang roboh, tapi sayang dalam perjalanan dinamika Reformasi terjadi pergeseran orientasi keterpilihan politik berdasarkan Siapa yang punya banyak uang.
Bahkan sekarang muncul istilah Dinasti Politik yang memanfaatkan aji mumpung kekuasaan dengan mendorong anggota keluarga untuk terjun mengambil kue kekuasaan. Politisi “jenggot” yang muncul dari atas kebawah yang bukan berakar dari dalam tanah. Sebuah Hegemoni kekuasaan varian baru telah tumbuh.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dulu katanya mau diberantas seolah hanya retorika tanpa bekas.Kapabilitas tersingkir oleh isi tas.
Apa gunanya ilmu dan daya inovasi kalau kemudian keterpilihan politik ditentukan faktor genetik ?!
Politik Gagasan yang dulu banyak didengungkan para aktivis seolah tak lagi digubris. Bahkan banyak aktivis yang bermental tidak tahan miskin kini justru berkomplot dengan kapitalis.
Coba perhatikan baligo-baligo yang terpasang mengganggu pemandangan; didominasi oleh Caleg beruang yang Nir-gagasan.
Kalau Anda memiliki gagasan membangun daerah atau negara tapi Anda kere (dana minimum) Saya yakin pilihan Anda adalah Tidak Nyaleg atau bertarung di Pilkada.
Saya salut kepada para Caleg Kere yang berani beradu dengan Caleg Beruang. Gaungkan terus gagasan-gagasan Anda wahai para Caleg Kere. Menarilah dan berdendang tanpa beban.
Jika nanti menang, Alkhamdulillah. Namun jika tidak terpilih, sejatinya Anda tidak kalah.
Karena Anda telah menanamkan sebuah Nilai; Edukasi dan Demokrasi Sejati untuk masa depan Bangsa.Yaitu Melawan si beruang pongah.