INDIE BANYUMAS
  • BERANDA
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
INDIE BANYUMAS
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
INDIE BANYUMAS

MENAKAR FRAGILITAS INDONESIA DI ARENA GLOBAL

DI ATAS BENDERA INDONESIA INCORPORATED

Prof Yudhie Haryono PhD (kiri) & Dr Agus Rizal

Kamis, 14 Agustus 2025

Prof Yudhie Haryono PhD (CEO Nusantara Centre)
Dr Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)

Banjir kompleksitas. Gemuruh fraktal. Takdir plural. Inilah kondisi kegeopolitikan kita kini. Tentu, Indonesia dengan segala potensi geopolitik dan demografinya menjadi berada di persimpangan: antara stabilitas (kokoh, kuat serta lentur) dan fragilitas (lemah, pecah serta sparatis). Dua pilihan yang tak mudah dihindari. Salah kita dalam mengelola negara, bisa terjatuh dalam puing yang makin menyengsarakan semuanya.

Fragile States Index atau FSI adalah indeks tahunan yang diterbitkan oleh The Fund for Peace di Amerika Serikat untuk mengukur tingkat kerentanan negara terhadap krisis atau keruntuhan. Skala yang digunakan berkisar antara 0 hingga 120 di mana 0 berarti sangat stabil dan 120 berarti sangat rapuh. Niat pengukuran ini pastilah “niat kolonialis” yang memudahkan penguasaan terhadap negara koloni. Dus, peta ini layak dicermati secara sungguh-sungguh.

Data FSI tahun 2024 menempatkan Indonesia pada skor 63,7 dengan peringkat 102 dari 179 negara. Posisi ini termasuk kategori stabilitas menengah, namun menyimpan kerentanan struktural. Berdasarkan tren tekanan eksternal dan internal termasuk dinamika geopolitik, ketergantungan pada ekonomi global, krisis iklim, dan polarisasi politik domestik estimasi untuk 2025 dapat memburuk ke kisaran 83 dari 120. Tentu, jika tidak dilakukan reformasi kebijakan yang signifikan, praktik negara pancasila dan kesiapsiagaan yang paripurna. Kondisi tersebut akan menempatkan Indonesia dalam zona kerentanan tinggi yang biasanya dialami oleh negara dengan kelemahan institusional dan kohesi sosial yang rapuh.

Kemunduran ekonomi struktural kini menjadi faktor penggerak fragilitas yang semakin nyata. Beban fiskal yang melebihi 40 persen dari kapasitas riil pendapatan negara menggerus ruang gerak anggaran untuk sektor produktif. Hal ini diperparah oleh investasi produktif berada pada level rendah sementara aliran modal cenderung masuk ke sektor konsumtif dan spekulatif yang tidak menciptakan nilai tambah jangka panjang.

Ketimpangan akses terhadap modal dan peluang ekonomi semakin memperlebar jurang antara pusat dan daerah sementara elite ekonomi politik menikmati perlindungan hukum yang membuat mereka kebal terhadap pertanggungjawaban. Sebaliknya warga negara biasa kerap menjadi sasaran tekanan aparat baik dalam bentuk kriminalisasi kebebasan berekspresi maupun pembatasan hak untuk mengorganisir diri. Ketimpangan relasi kuasa seperti ini menciptakan rasa ketidakadilan yang meluas dan mengikis legitimasi negara di mata publik.

Analisis terhadap dua belas indikator FSI menunjukkan bahwa tiga komponen dengan tingkat kerentanan tertinggi adalah: (1)Ketidakmerataan pembangunan ekonomi; (2)Fragmentasi elite, serta (3)Lemahnya penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Ketidakmerataan pembangunan ekonomi di Indonesia bukan sekadar perbedaan angka pertumbuhan antarwilayah tetapi mencerminkan ketimpangan struktural yang telah mengakar. Konsentrasi investasi dan pembangunan infrastruktur di Pulau Jawa menciptakan jurang perkembangan dengan wilayah luar Jawa khususnya Indonesia Timur.

Akibatnya akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja berkualitas menjadi tidak setara. Kondisi ini jelas bertentangan dengan sila kelima Pancasila, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Tentu saja, jika dibiarkan akan melemahkan daya rekat sosial serta meningkatkan potensi konflik horizontal berbasis ketidakpuasan ekonomi.

Sementara itu, fragmentasi elite politik dan ekonomi yang semakin tajam juga menjadi sumber kerentanan serius. Polarisasi elite kini tidak hanya sebatas perbedaan gagasan tetapi telah bergeser menjadi pertarungan kepentingan jangka pendek yang mengabaikan visi kebangsaan. Mobilisasi identitas berbasis agama, etnis, dan kelas sosial merembes ke masyarakat, memecah kohesi nasional, dan merusak sila ketiga Pancasila, “Persatuan Indonesia.”

Dalam perspektif teori fragilitas negara elite yang terpecah dan berorientasi pada kepentingan kelompoknya sendiri merupakan prediktor kuat terjadinya disfungsi negara sekaligus penurunan legitimasi pemerintahan. Konflik dan terpecahnya elit akan menghasilkan distrust, disorder, dan disobedient. Ingat, distrust society adalah awal revolusi sosial yang seringkali menghasilkan bubarnya sebuah negara.

Sedangkan, lemahnya penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia melengkapi lingkaran kerentanan ini. Praktik penegakan hukum yang tebang pilih, pelanggaran hak-hak sipil di wilayah konflik, serta pembatasan kebebasan berekspresi menunjukkan lemahnya supremasi hukum (kelembagaan, institusi maupun agensi). Hal ini bertentangan dengan sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.”

Ketidakpastian hukum tidak hanya mengikis kepercayaan publik terhadap negara tetapi juga menghambat pembangunan ekonomi serta membatasi partisipasi warga negara secara setara. Saat bersamaan, kepercayaan internasional juga akan menurun dan terus menrun karena “takut jadi korban KKN dan tindak anti hukum.”

Ketiga indikator tersebut saling berkaitan dalam menciptakan lingkaran rapuh yang sulit diputus. Ketidakmerataan pembangunan memperparah polarisasi elite sementara lemahnya penegakan hukum memungkinkan elite mempertahankan struktur kekuasaan yang eksklusif dan tidak adil.

Dalam kerangka Pancasila, tentu situasi ini mencerminkan kegagalan kolektif dalam menerjemahkan nilai-nilai ideologi negara ke dalam kebijakan publik yang nyata. Menghadapi gempuran geopolitik global, penetrasi modal asing, dan ancaman krisis iklim, Indonesia memerlukan reideologisasi Pancasila yang bersifat substantif bukan sekadar seremonial.

Pancasila harus menjadi landasan dalam tata kelola negara yang berdaulat secara ekonomi, adil secara sosial, kuat secara hukum, dan inklusif secara politik. Tanpa langkah tersebut perbaikan skor pada masa lalu akan menjadi semu. Dengan tren indikator FSI yang cenderung memburuk, Indonesia kini berada dalam warning zone. Ini sebuah titik di mana arah perjalanan sejarah akan ditentukan oleh keberanian politik untuk membenahi akar masalah atau membiarkan negara meluncur menuju status fragile state yang sulit diselamatkan. Kita berharap, semua elite menyadari hal tersebut dan cepat mengantisipasinya. Mestakung.(*)

ShareTweetKirimkan
Sebelumnya

Kapal Nelayan Pencari Benur Terbalik di Perairan Teluk Penyu, Dua ABK Selamat

Selanjutnya

Dugaan Penghilangan Data Buku C Desa Cilongok, Ananto: Kejahatan Terencana

Selanjutnya
Dugaan Penghilangan Data Buku C Desa Cilongok, Ananto: Kejahatan Terencana

Dugaan Penghilangan Data Buku C Desa Cilongok, Ananto: Kejahatan Terencana

Tujuh Korban Unjuk Rasa di Pati Dirawat di RSU Soewondo, Dokkes Polda Jateng Pastikan Kondisi Stabil

Tujuh Korban Unjuk Rasa di Pati Dirawat di RSU Soewondo, Dokkes Polda Jateng Pastikan Kondisi Stabil

Tentang Kami / Redaksi
Pedoman Media Siber / Independensi & Donasi

© 2021 indiebanyumas.com

Tentang Kami / Redaksi / Pedoman Media Siber / Independensi & Donasi

© 2021 indiebanyumas.com
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • BERANDA
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI

© 2021 indiebanyumas.com