Sejarah NKRI tidak lepas dari peran penting Tokoh-tokoh Muhammadiyah. Perumus dan penggali Pancasila adalah Kader Muhammadiyah dengan nomor baku 384 yaitu Bung Karno.
Ki Bagus Hadikusumo merupakan Ketua PB Muhammadiyah periode Kemerdekaan RI yang menentukan narasi Sila Pertama Pancasila menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan narasi tersebut menegaskan Indonesia yang berdasar Pancasila bukan Negara Agama dan bukan Negara Sekuler.
Kegigihan Mr. Kasman Singodimedjo (Ketua KNIP) meyakinkan Ki Bagus Hadikusuma untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta sebenarnya merupakan suatu bentuk afirmasi terhadap konsep Dasar Negara Indonesia tanpa harus memasukkan ajaran Islam secara formal-eksplisit. Inilah bentuk “kesepakatan bersama” (konsensus)—yang dalam bahasa Kasman disebut sebagai gentlemen’s agreement— dari para pendiri bangsa, terutama dari kelompok Muslim.
Dari Karsidenan Banyumas muncul Kader Muhammadiyah yang menjadi Panglima TNI pada masa merebut dan mempertahankan Kemerdekaan yaitu Jenderal Soedirman. Bapak TNI yang meneguhkan pondasi TNI dimana politik Negara adalah Politik Tentara. Tentara tidak berpolitik, tidak memihak pada golongan atau partai politik tertentu.
Ibu Fatmawati yang menjahit bendera Merah Putih untuk Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, sekaligus Istri Proklamator Bung Karno, adalah putri dari pasangan tokoh Muhammadiyah dan Aisyiyah di Bengkulu.
Dari pasangan Bung Karno dan Ibu Fatmawati lahirlah salah satunya putri yang saat ini menjadi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri.
Secara “nasab” jelas bahwa Ketua Umum PDIP saat ini memiliki garis Muhammadiyah. Dengan demikian, Muhammadiyah dengan PDIP sejatinya “Bukan Orang Lain”.
Muhammadiyah sebagai Organisasi memang tidak berpolitik praktis. Tidak mengarahkan pada pilihan Parpol tertentu maupun kandidat tertentu. Organisasi Muhammadiyah membebaskan warganya untuk menentukan sendiri pilihan politiknya.
Namun dalam kenyataannya, di kalangan internal Muhammadiyah terdapat keengganan, penolakan bahkan antipati untuk memilih PDIP sebagai pilihan politik warganya.
Keengganan tersebut muncul salah satunya karena ada isu dimana PDIP merupakan Parpol yang menampung orang-orang yang berpaham komunis dan berpotensi sebagai wadah bangkitnya kembali PKI.
Padahal isu tersebut tidak terbukti kebenarannya. Bahkan Buya Syafi’i Ma’arif (Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah) mengatakan bahwa isu kebangkitan PKI adalah isu murahan. Ideologi Komunis sudah runtuh dan tidak laku di seluruh dunia. Isu kebangkitan PKI ibarat hantu, ada namanya tapi tidak ada wujudnya.
Bagi Muhammadiyah, hantu adalah bentuk takhayul; yang semestinya tidak dipercaya eksistensinya, bukan malah dihembus-hembuskan terus atau ikut-ikutan terhasut isu yang tidak benar.
Muhammadiyah dengan simbol Matahari semestinya menjadi penerang dan mencerahkan hati dan pikiran masyarakat dengan ajaran-ajaran yang benar.
PDIP yang bersimbol Banteng adalah partai berjuluk Partainya Wong Cilik, yang berpijak pada ideologi Marhaenisme yang dicetuskan Bung Karno. Hal ini selaras dengan Teologi Al-Ma’un yang diajarkan Pendiri Muhammadiyah Kyai Ahmad Dahlan. Muhammadiyah didirikan dengan spirit mengentaskan kemiskinan, mengangkat masyarakat dari keterbelakangan, melindungi anak yatim dan kaum yang lemah; agar tidak menjadi Pendusta Agama.
Selayaknyakah Matahari memilih Banteng?
Kenapa tidak ?
Penulis adalah :
Founder Gerakan Matahari Banteng.
Founder Gema Mega (Gerakan Matahari Memilih Ganjar).