Dr. Barid Hardiyanto
(Peneliti Senior di Lembaga Penelitian Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH) dan Dosen UIN Prof Saifuddin Zuhri dan UNU Purwokerto)
Ketika kekuasaan dirancang untuk dibatasi hanya dua periode, sebagaimana konstitusi kita tetapkan, maka setiap pemimpin yang terpilih tahu satu hal dengan sangat pasti: waktu mereka terbatas. Bukan hanya terbatas dalam arti durasi, tetapi juga dalam kesempatan untuk meninggalkan jejak sejarah, membuktikan kinerja, dan mengukir narasi kepemimpinan yang akan dikenang.
Dari sinilah kita menyaksikan kecenderungan yang makin dominan: dorongan untuk menghadirkan kebijakan-kebijakan yang “megah”, simbolik, monumental. Jembatan besar, bandara internasional, kawasan ekonomi terpadu, dan infrastruktur superlatif lainnya menjadi pilihan banyak pemimpin dalam membuktikan kesuksesan mereka. Di sisi lain, kebijakan yang bersifat “small is beautiful”—seperti pemberdayaan komunitas, reformasi birokrasi mikro, atau penguatan koperasi desa—kerap dianggap tak cukup “terlihat”, terlalu pelan, dan tidak meninggalkan artefak visual yang bisa difoto, diresmikan, atau dijadikan baliho kampanye.
Padahal, justru di ranah kecil dan subtil inilah sering kali perubahan paling berdampak dan berkelanjutan bisa terjadi.
Kekuasaan dan Ilusi Megah
Ada dorongan psikologis dan politis yang besar bagi seorang pemimpin untuk meninggalkan “legacy” selama masa jabatannya. Dalam sistem demokrasi yang dibatasi waktu, ini menjadi semakin krusial karena keberhasilan mereka akan dinilai oleh mata publik dalam tempo singkat: lima tahun pertama, dan jika berhasil, lima tahun tambahan. Tidak heran jika banyak kepala daerah atau presiden mengakselerasi proyek-proyek mercusuar yang bisa dilihat dengan kasat mata.
Megaproyek seperti stadion baru, jalan tol, atau kawasan industri menjadi indikator yang mudah dikapitalisasi secara politis. Ia bisa dipotret dari drone, ditayangkan dalam iklan layanan publik, bahkan diabadikan dalam nama bandara atau terminal. Lebih penting lagi, ia menjadi bahan komunikasi politik yang konkret.
Pemerintahan Joko Widodo (2014–2024) memberi contoh nyata. Anggaran infrastruktur terbesar dalam sejarah negara—Rp 290 triliun pada 2016 (sekitar USD 22 miliar)—mengakselerasi 265 proyek besar, termasuk Trans-Java, Trans-Papua, dan jalur kereta cepat Jakarta–Bandung . Menurut PwC, pengeluaran infrastruktur Indonesia diperkirakan akan meningkat dari USD 57,3 miliar pada 2014 menjadi USD 138,6 miliar di 2025 .
Sejak dicanangkan pada 2016, Proyek Strategis Nasional (PSN) telah mencakup 223 proyek senilai Rp 4.092 triliun, dan 92 di antaranya telah rampung senilai Rp 467,4 triliun . Dampaknya terlihat: meningkatnya konektivitas antar-pulau dan ekspansi sektor ekonomi.
Namun, sisi gelapnya juga ada. Studi tentang mega-proyek transportasi mencatat adanya penggusuran warga, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan manfaat, seperti kasus jalan tol Trans-Java dan kereta cepat Jakarta–Bandung . Bahkan di Rempang (Batam), proyek senilai USD 11,5 miliar memicu protes dan penangkapan ratusan warga karena dampak sosial-ekologisnya .
Mega-proyek memang menarik secara visual dan mempermudah komunikasi politik: ada semacam kelegaan visual bagi publik, Namun ketergantungan pada proyek besar juga meningkatkan utang, potensi korupsi, dan bencana lingkungan jangka panjang.
Sayangnya, ukuran dan kemegahan fisik tidak selalu berbanding lurus dengan kebermanfaatan publik atau keberlanjutan sosial. Ada banyak stadion besar yang tidak pernah ramai, jembatan panjang yang minim lalu lintas, hingga kawasan industri yang mangkrak karena tak ada investasi yang masuk.
Dalam banyak kasus, megaproyek justru menyedot anggaran besar, meminggirkan kebutuhan dasar warga, dan menyisakan utang atau beban pemeliharaan jangka panjang yang tidak tertanggungkan. Namun karena efek visualnya kuat dan narasi politiknya jelas, proyek-proyek ini tetap menjadi primadona.
“Small is Beautiful”: Tak Terlihat, Tapi Berdampak
Sebagai alternatif, konsepsi “Small is Beautiful” dari ekonom E.F. Schumacher (1973) menekankan nilai ekonomi mikro yang berkelanjutan: teknologi sederhana (intermediate technology), pemberdayaan komunitas, dan penghargaan terhadap hubungan manusia–alam . Schumacher menegaskan, “profitabilitas saja tidak cukup; penting juga mempertimbangkan dampak terhadap manusia dan lingkungan” .
Organisasi seperti Practical Action, yang lahir dari gagasan Schumacher, menunjukkan bahwa teknologi tepat guna dan pendekatan berbasis komunitas berhasil mendukung ekonomi lokal dalam jangka panjang. Penelitian tambahan juga memperkuat bahwa pembangunan mikro dapat menumbuhkan ketahanan sosial dan ekonomi secara lebih inklusif, dibanding hanya mengandalkan investasi besar .
Namun di mata banyak politisi dan birokrat, kebijakan seperti ini menghadirkan paradoks: meskipun dampaknya nyata dan terasa langsung oleh masyarakat, ia sulit untuk diklaim sebagai “legacy” yang monumental. Ia tidak spektakuler. Tidak bisa dijadikan foto besar di spanduk pencapaian. Terlalu kecil, terlalu organik, terlalu membumi.
Akibatnya, banyak pemimpin menghindari kebijakan-kebijakan mikro dan taktis ini karena takut dianggap “tidak bekerja”. Padahal, jika mereka mampu bertahan dalam jangka panjang dan konsisten menjalankan pendekatan-pendekatan kecil namun bermakna, perubahan sosial bisa terjadi secara sistemik. Sayangnya, waktu lima atau sepuluh tahun dianggap terlalu pendek untuk itu.
Batasan Waktu dan Paradoks Kepemimpinan
Di sinilah letak paradoksnya: pembatasan kekuasaan dua periode memang dirancang untuk mencegah otoritarianisme dan akumulasi kekuasaan, namun dalam praktiknya juga menciptakan tekanan besar pada para pemimpin untuk menunjukkan “hasil instan”. Alih-alih membangun fondasi sosial-ekonomi yang kokoh dan inklusif, mereka tergoda membangun menara pencakar langit yang mudah terlihat dari kejauhan tapi mudah runtuh saat dasar sosial tak kuat.
Periode kekuasaan yang pendek seharusnya menjadi alasan untuk memfokuskan perhatian pada perbaikan sistemik yang mengakar, bukan pada estetika semu. Tapi politik membutuhkan visual. Rakyat sering kali tidak punya waktu—atau akses—untuk memahami capaian struktural yang tidak kasat mata. Ini menciptakan lingkaran setan antara pemimpin yang ingin terlihat bekerja dan publik yang hanya bisa menilai dari apa yang tampak.
Menuju Kepemimpinan yang Transformatif
Apa yang bisa dilakukan untuk memutus siklus ini? Pertama, diperlukan perubahan paradigma dalam menilai keberhasilan kepemimpinan. Publik, media, dan masyarakat sipil harus belajar menilai pencapaian bukan dari ukuran fisik proyek, tetapi dari keberlanjutan dampaknya. Peningkatan literasi politik dan evaluasi berbasis data menjadi krusial di sini.
Kedua, perlu ada keberanian dari para pemimpin untuk menolak godaan mercusuar. Mereka harus sadar bahwa kebijakan transformatif tidak selalu harus spektakuler. Membenahi sistem pengadaan barang yang koruptif, mengintegrasikan layanan kesehatan di desa-desa, atau memperluas akses pendidikan anak marginal mungkin tidak mendatangkan headline, tetapi sangat berarti dalam jangka panjang.
Ketiga, kita perlu menciptakan ruang apresiasi bagi kebijakan mikro yang berdampak. Misalnya, dengan memberikan penghargaan publik kepada program kecil yang berhasil menurunkan angka putus sekolah, meningkatkan angka konsumsi protein keluarga miskin, atau memperkuat ekonomi komunitas. Pemerintahan tidak selalu harus dilihat sebagai panggung akrobat, melainkan sebagai kerja-kerja sepi yang menghasilkan keadilan dan kesejahteraan.
Akhirnya, sudah waktunya kita memikirkan ulang apa yang kita maksud dengan “bukti kerja”. Apakah itu berarti jalan tol yang mulus tapi hanya dinikmati segelintir orang? Ataukah berarti layanan publik yang adil dan setara bagi semua warga?
Kebijakan megah memang mudah dikenang, tetapi kebijakan yang kecil namun berkelanjutan jauh lebih berharga. Pemimpin hebat tidak diukur dari tinggi menara yang ia bangun, tetapi dari pondasi kokoh yang ia tinggalkan.
Oleh karena itu, meskipun hanya punya waktu dua periode, seorang pemimpin sejati tetap bisa membuktikan kerjanya—bahkan tanpa perlu membangun satu pun gedung pencakar langit.