HUKUM, indiebanyumas.com – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata menyebut Ketua KPK Firli Bahuri memiliki hak untuk mengajukan praperadilan jika tak terima dijadikan tersangka oleh Polda Metro Jaya. Alex mengatakan Firli Bahuri berhak melawan status tersangkanya.
“Ya itu tentu menjadi hak Pak Firli untuk melakukan perlawanan. Kalau yang bersangkutan kan sudah berkali-kali, saya kira sudah teman-teman dengar bahwa yang bersangkutan tidak pernah menerima suap, tidak pernah melakukan pemerasan,” ujar Alex di gedung KPK, Kamis (23/11/2023) dilansir dari laman Liputan6.
Alex menyebut, Firli Bahuri memiliki bukti tak terlibat pidana seperti yang disangkakan Polda Metro Jaya. Lagipula, upaya hukum praperadilan merupakan hak seorang tersangka untuk menentukan sah atau tidaknya status hukumnya.
“Tentu Pak Firli punya dasar menyampaikan itu. Dan ketika yang bersangkutan ditetapkan tersangka tentu ada upaya-upaya hukum yang Pak Firli lakukan, misalnya dengan praperadilan. Hal yang normatif saya kira,” kata Alex.
Ketua KPK Firli Bahuri dijerat pasal berlapis atas kasus dugaan pemerasaan terhadap mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL). Tak main-main ancaman hukuman dari lima tahun kurungan penjara sampai penjara seumur hidup.
Dalam kasus ini, Firli dipersangkakan melanggar Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Junto Pasal 65 KUHP.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak kemudian membeberkan, sanksi pidana maupun denda sebagaimana yang diterangkan di dalam pasal tersebut.
“Pada Pasal 12 huruf B ayat 2 disebutkan bahwa pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana yang dimaksud ayat 1, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 Miliar,” kata Ade Safri Simanjuntak saat konferensi pers, Kamis dini hari (23/11/2023).
Sedangkan, Ade melanjutkan untuk Pasal 11 ancaman pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan/atau pidana paling sedikit denda Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.
“Bagi pegawai negeri, atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya,” ujar dia.