Aji, kini menginjak usia ke-33. Rambut halus di atas mulut di bawah hidungnya, begitu sangat jelas menandakan dirinya telah menjadi laki-laki dewasa.
Tak sekadar pada fisiknya itu, Aji pun seolah ingin membuktikan diri kalau dirinya adalah anak lelaki normal, sebagaimana teman sebayanya. Bahkan, ketika usianya 20 tahun, Aji yang memiliki nama lengkap Aji Dwi Susanto menikah. Sayangnya, kebahagiaan cinta yang membalut hati Aji hanya berlangsung dalam hitungan bulan. Istrinya menggugat cerai, tak lama kemudian perceraian itu diputuskan pengadilan agama.
Sejak itu, Aji kembali menjalani hidupnya sendirian, tinggal bersama kedua orangtuanya di Desa Cilongok Kecamatan Cilongok, Banyumas Jawa Tengah. Kesedihan Aji sangat jelas tampak di wajahnya, dia pun kerap keluar masuk rumah sakit. Rasa sakit akibat Himofilia yang tanda-tandanya sudah muncul saat usianya baru 6 bulan, kerap kambuh.
Apabila kondisinya seperti itu, rumah sakit menjadi ‘rumah kedua’ anak muda bertinggi badan 170 cm ini. Bahkan, rumah sakit yang ia singgahi cukup jauh di RSCM Jakarta.
Aji, adalah salah satu penderita himofilia di Banyumas yang namanya tercatat sebagai anggota Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) Serayu.
Akibat penyakit yang disebabkan karena kekurangan sel darah putih ini, Aji seringkali mengalami pendarahan dan bengkak-bengkak pada sekitar sendi tubuhnya. Pada usia 7 tahun, Aji pernah tak sadarkan diri hingga 4 hari karena perawatan dari paramedis yang masih kurang baik di kota tempat tinggalnya. Maklum, bagi para ahli kesehatan di kota ini, penyakit himfolia masih asing kala itu meskipun tingkat bahayanya sangat tinggi.
“Penderita hemofilia konon tidak bisa memproduksi sel darah putih dengan baik yang mengakibatkan dirinya mengalami pembengkakan pada bagian tubuh hingga membiru. Lalu, jika terkena sayatan pada kulit dalam maupun luar, maka darah akan mengucur tanpa henti. Akibat luka itulah, kasus meninggal dunia akibat himofilia sering terjadi karena ketidaktahuan keluarga penderita,” kata Sri Wilujeng, Humas HMHI Serayu.
Sri yang tak lain adalah ibu angkat Aji sudah begitu mengerti akan derita yang dialami penyandang himofolia. Apalagi bagi yang tinggal di daerah-daerah kecil seperti Purwokerto, penanganan terhadap penyakit ini belum dilakukan tenaga medis yang berkompeten. Ia menyebutkan, apa yang dialami Aji berpuluh tahun silam menjadi pengalaman berharga dalam penanganan terhadap penderita himofilia di Banyumas.
“Dulu ketika dia tak sadarkan diri, penyebabnya adalah operasi yang dilakukan di bagian gusi. Bukannya darah itu mampet, akibat jahitan itu malah darah terus menerus mengucur hingga akhirnya berhenti setelah ditangani secara benar di Jakarta, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo,” katanya.
Penanganan yang kurang baik, kata dia, juga menjadikan Aji pernah mengalami koma hingga 4 hari. Sejak itu, Aji hampir tidak pernah dirawat di rumah sakit selain di RSCM Jakarta. “Kecuali kalau sakit demam atau yang tidak membutuhkan obat yang hanya tersedia di RSCM, baru dia dirawat di sini,” katanya.
Berawal dari pertemuan dengan anggota keluarga penderita himofilia yang lain, Sri akhirnya seringkali berkumpul baik di rumahnya maupun di rumah penderita lain untuk berbagi pengetahuan mengenai himofilia. Setelah jumlah mereka banyak, akhirnya disepakati untuk membentuk paguyuban agar nantinya bisa menjadi wadah bagi penderita. Sri berharap kelompok ini bisa menjadi organisasi atau bahkan yayasan yang menaungi penyandang himfofilia.
“Menjadi penting bagi kami akan informasi apapun tentang himofilia agar beban kami bisa menjadi lebih ringan apalagi jika bisa dirawat di kota ini tanpa harus jauh-jauh ke Jakarta,” katanya.
Cerita kepedihan penderita himofilia Banyumas selain Aji tak kalah miris. Tak jauh dari kediaman Aji, pada 20 tahun silam kasus kematian menimpa seorang bocah karena keterlambatan penanganan medis. Sang bocah malang itu kehabisan darah karena terus mengucur dari gusinya, “Gara-gara sepele makan ikan kena tulang, darah tak bisa dihentikan. Orangtua anak itu adalah seorang petani penderes yang tidak pernah memeriksakan anaknya ke rumah sakit tentang himofilia yang dideritanya karena persoalan uang. Saya lupa nama anaknya, tapi ini kejadian nyata,” kata Sri menambahkan.
Heru, penderita hemofilia yang tinggal di Desa Pasir Kulon Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas meregang nyawa ketika usianya baru genap 17 tahun. Anak pasangan H Samhari dan Hj Siti Aminah, tak bisa lagi menahan rasa sakit yang menimpa kepalanya hanya karena terbentur tiang di bus sewaktu pulang sekolah.
Heru tak lain adalah paman dari Aji. Selain almarhum dan Aji, ada dua penderita himofilia dari keluarga besar H Samhari, yakni Rudi dan Adrian Nurokhman (Rian). Rian adalah keponakan Aji yang tinggal satu rumah.
Muhammad Rizky yang juga pegiat di HMHI Serayu mengatakan, faktor keturunan adalah salah satu penyebab dari seseorang terkena hemofilia. Tapi, ada faktor lain di luar genetikal yang bisa menjadikan seseorang tersebut mengidap hemofilia.
“Selain keturunan juga telah ditemukan fakta dari uji laboratorium yang menyebutkan hemofilia bisa tumbuh karena faktor lain,” katanya.
Hemofilia telah ditemukan sejak lama. Kata hemofilia pertama kali muncul pada sebuah tulisan yang ditulis oleh Hopff di Universitas Zurich, tahun 1828. Menurut ensiklopedia Britanica, istilah hemofilia (haemophilia) pertama kali diperkenalkan oleh seorang dokter berkebangsaan Jerman, Johann Lukas Schonlein (1793 – 1864), pada tahun 1928. Schonlein yang adalah seorang guru besar kedokteran di tiga universitas besar di Jerman – Wurzburg (1824 – 1833), Zurich (1833 – 1830) dan Berlin (1840 – 1859), adalah dokter pertama yang memanfaatkan mikroskop untuk melakukan analisis kimiawi terhadap urin dan darah guna menegakkan diagnosis atas penyakit yang diderita seorang pasien.
Hemofilia juga disebut dengan “The Royal Diseases” atau penyakit kerajaan. Sebutan itu muncul karena Ratu Victoria (1837 – 1901) adalah seorang pembawa sifat/carrier hemofilia. Anaknya yang ke delapan, Leopold adalah seorang hemofilia dan sering mengalami perdarahan.
Keadaan ini di beritakan pada British Medical Journal pada tahun 1868. Leopold meninggal dunia akibat perdarahan otak pada saat ia berumur 31 tahun. Salah seorang anak perempuannya, Alice, ternyata adalah carrier hemofilia dan anak laki-laki dari Alice, Viscount Trematon, juga meninggal akibat perdarahan otak pada tahun 1928.
Bukan saja di tanah Britania, Hemofilia juga menyerang keluarga kerajaan Rusia. Dua dari anak perempuan Ratu Victoria, Alice dan Beatrice, adalah carrier. Mereka menyebarkan penyakit hemofilia ke Spanyol, Jerman dan Keluarga Kerajaan Rusia.
Para ahli di bidang kedokteran pada abad 20 terus melakukan observasi untuk Hemofilia. Tahun 1937, dua orang dokter dari Harvard, Patek dan Taylor, menemukan pemecahan masalah pada pembekuan darah, yaitu dengan menambahkan suatu zat yang diambil dari plasma dalam darah. Zat tersebut disebut dengan anti-hemophilic globulin.
Tujuh tahun kemudian, dokter asal Argentina bernama Pavlosky melakukan ujicoba laboratorium untuk hemofilia. Hasilnya memperlihatkan bahwa penderita hemofilia dapat mengatasi masalah pembekuan darah pada penderita hemofilia lainnya dan sebaliknya.
Pavlosky juga menemukan dua jenis penderita hemofilia dengan masing – masing kekurangan zat protein yang berbeda – Faktor VIII dan Faktor IX. Dan hal ini di tahun 1952, menjadikan hemofilia A dan hemofilia B sebagai dua jenis penyakit yang berbeda. Pada 1960-an, plasma segar atau cryoprecipitate ditemukan oleh Dr. Judith Pool.
Ia menemukan bahwa pada endapan di atas plasma yang mencair mengandung banyak Faktor VIII. Untuk pertama kalinya, Faktor VIII dapat dimasukkan pada penderita yang kekurangan, untuk menanggulangi perdarahan yang serius. Bahkan memungkinkan melakukan operasi pada penderita hemofilia.
Dikenal di Jawa Bernama Raja Gaman
Keberadaan Hemofilia di tanah air diduga kuat sudah muncul sama waktunya dengan kemunculannya di belahan dunia barat. Dugaan ini didasari dari adanya istilah penyakit ini yang dikenal masyarakat luas di Jawa dengan nama Raja Gaman.
Dari ciri-ciri pengidap Raja Gaman yang mengalami pendarahan serius, penyebab serta kondisinya sama persis dengan penderita hemofilia saat ini. Sri mengatakan, istilah Raja Gaman sudah ia ketahui sejak masih kecil.
“Gejala yang dialami serta pendarahan yang terjadi sama persis dengan hemofilia yang menimpa anak saya,” kata perempuan yang kini telah berusia 60 tahun.
Bagi para penderita hemofilia, perdarahan dapat terjadi pada setiap organ tubuh. Kadang perdarahan dapat dengan mudah dilihat, namun dapat juga tidak bisa terlihat. Perdarahan di dapat setelah adanya benturan maupun setelah tindakan pembedahan. Akan tetapi, terdapat kemungkinan perdarahan juga terjadi tanpa diketahui penyebabnya. Perdarahan seperti inilah yang disebut dengan perdarahan spontan. Pada umumnya, bayi yang menderita hemofilia jarang mengalami perdarahan.
Perdarahan mulai kerap terjadi saat bayi mulai belajar berjalan. Perdarahan yang terjadi karena luka biasanya akan berlangsung lebih lama, terutama pada bagian mulut dan lidah. Ketika penderita beranjak besar, perdarahan spontan makin sering terjadi. Kebanyakan timbul pada persendian dan otot.
Sedangkan kelompok penderita hemofilia di Banyumas, saat ini baru mencatat 50 penderita yang tersebar di berbagai kecamatan. Jumlah penderita tersebut diketahui dari hasil pencarian yang dilakukan beberapa pegiat di kelompok tersebut melalui informasi dari masyarakat. Angka penderita yang sekarang muncul itu kemungkinan besar masih jauh dari angka nyata.
“Saya yakin jumlah yang sekarang tercatat pada kelompok kami masih jauh dari angka sebenarnya. Kami sangat berharap pemerintah bisa melakukan gerakan peduli untuk penderita hemofilia dengan mensosialisasikan kepada khalayak akan penyakit ini. Dengan demikian, penanganan sejak dini kepada penderita jelas lebih baik daripada ketika mengetahuinya sudah dalam kondisi parah,” kata Rizki.
Rizki menambahkan, secara logika angka penderita yang hanya tercatat 50 orang sangat tidak masuk akal. Jika mengacu pada hasil riset yang sudah pernah dilakukan oleh lembaga di Amerika Serikat khusus untuk himofilia, potensi penderita hemofilia adalah satu dengan perbandingan seribu.
“Artinya dari 1000 orang, ada potensi satu orang terkena hemofilia. Apabila di Banyumas penduduknya 2 juta jiwa, maka dengan acuan dari riset tersebut jumlah penderita jelas jauh lebih banyak. Ini hanya persoalan sosiliasi yang minim, hanya segelintir masyarakat yang tahu tentang hemofilia,” katanya.
Imunitas Berkat Faktor VIII secara Gratis
Dengan ditemukannya obat bernama Faktor VIII, penderita hemofilia bisa hidup secara normal. Faktor VIII atau antihemophilic factor (AHF) adalah obat yang bersumber dari konsentrat protein endogen faktor VIII dari plasma manusia, berfungsi dalam proses aktivasi jalur koagulasi. Faktor VIII merujuk pada bentuk liofilisasi (pengeringan beku) dari konsentrat faktor VIII dalam plasma manusia yang telah menjalani teknik fraksinasi.
Faktor VIII adalah salah satu faktor koagulasi pada jalur intrinsik yang sangat penting dalam proses pembekuan darah. Faktor VIII berfungsi sebagai kofaktor bagi faktor IXa yang dengan bantuan Ca+2 dan fosfolipid membentuk senyawa yang dapat mengkonversi faktor X menjadi bentuk aktifnya yaitu faktor Xa. Faktor Xa selanjutnya akan merangsang konversi protrombin menjadi trombin.
Singkatnya, dengan faktor VIII itulah para penderita Hemofilia memiliki imunitas. Cara memasukan cairan tersebut ke dalam tubuh penderita juga sekarang sudah banyak dilakukan oleh keluarga mereka sendiri. Yaitu dengan menyuntikkan cairan tersebut
Upaya keras dilakukan kelompok penderita untuk bisa memperoleh faktor VIII dengan ringan. Karena, untuk memperoleh satu paket Faktor VIII yang secara rutin harus disuntikkan ke tubuh 3-4 kali dalam sebulan, minimal biaya yang harus keluar Rp 10 Juta. Itu belum termasuk obat-obatan lain, yang memang secara medis wajib dikonsumsi penderita.
Beruntung, BPJS Kesehatan hadir dan membantu masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik sesuai dengan tingkatan kelas atau faskesnya. Akhirnya, mereka para penderita yang tergabung dalam. HMHI Serayu mengikuti program BPJS dengan harapan pasokan ‘cairan ajaib” bisa diperoleh setiap bulan.
“Dengan adanya program BPJS yang memungkinkan penderita memperoleh faktor VIII maka kini kualitas hidup penderita sudah jauh lebih baik, karena sebelumnya mereka tak mampu untuk membayar perawatan, termasuk faktor VIII” kata Sri.
Sri mengatakan, jika tidak memperoleh faktor VIII secara gratis dari program BPJS dia menghitung besaran biaya perawatan setiap bulan para penderita minimal mengapai angka Rp 12 juta.
“Untuk faktor VIII saja satu paket 3 juta dengan kebutuhan per bulan 3 hingga 4 paket dan belum lagi untuk obat lain juga biaya perjalanan ke rumah sakit, ” katanya.
Anggota HMHI Serayu lain Rachmat Purwanto mengungkapkan jika tidak ada program BPJS entah apa yang akan terjadi pada dirinya. “Meski garis tangan manusia ditentukan oleh Tuhan, tapi dengan adanya faktor VIII sudah kurang lebih 10 tahu saya bisa beraktivitas normal, ” kata Rachmat yang akrab dipanggil Kipli.
Kipli, sebelum bergabung dengan HMHI Serayu dikenal sebagai bocah ‘ringkih’. Setiap sebulan sekali, dia hampir pasti hanya berbaring di tempat tidur karena sakit yang disebabkan imunitas-nya yang menurun akibat Hemofilia. Entah itu benjolan di lutut, maupun demam disertai dengan ngilu di sekujur tubuh.

Kini, setelah 8 tahun ikut dalam program BPJS Kesehatan, Kipli pun akhirnya bisa hidup seperti kawan-kawan seusianya. Kipli bahkan kini sudah bisa menjadi seorang wirausaha dengan membuka barber shop di rumahnya.
Bersamaan dengan ikut HMHI Serayu dan mengurus BPJS untuk bisa menebus Faktor VIII dan obat-obatan lain, Kipli pun mengakhiri masa lajangnya dan kini dirinya sudah dikaruniai anak yang telah duduk di bangku sekolah dasar. Kipli juga merasa sudah nyaman dengan kehidupanya meski hasil dari membuka jasa barber shop diakuinya belum bisa membuatnya penghasilan besar.
“Bagi saya penghasilan cukup itu sudah luar biasa, karena saya telah menerima bonus dengan dipermudah dalam menerima perawatan penyakit saya dari bantuan BPJS kesehatan,” kata Kipli yang membuka Barber Shop di depan rumahnya di Dusun Bentala Desa Cilongok Kecamatan Cilongok.
Angga Saputra