Prof. Yudhie Haryono PhD
Rektor Univ Nusantara
Setelah meriset konsep ekopol konstitusi, seperti janjiku kemarin, kini giliran berbagi soal ekonomi haram (shadow economic). Ini soal sungguh genting. Jauh lebih penting dari sekedar mengganti rezim lewat pilpres.
Mengapa? Sebab para pemain shadow ekonomic inilah yang kini mengatur negara, mencengkeram aparaturnya secara halus tak terendus, menjajah kita semua sampai tujuh turunan dengan mencipta segitiga setan: konsolidasi keserakahan; masifikasi kekuasaan; intensifikasi kekayaan.
MEREKA BERSEKUTU MEMAKSA KITA MEMILIH PRESIDEN PILIHAN MEREKA. DAN MEREKA MEMAKSA PRESIDEN MEMILIH KABINET PILIHAN MEREKA.
Dus, mengingat shadow economic adalah seperti merapal mantera, “apa yang tak terdeteksi bukan tak terjadi.” Inilah ontologi ekonomi haram: ada tetapi tiada. Tiada tetapi ada. Maka, perlu mata setajam silet untuk memahaminya. Perlu nalar sejenius Muhammad untuk mengetahuinya.
Shadow economic adalah projek ekonomi ilegal (bisnis haram) yang nilainya tidak tercermin dalam penghitungan produk domestik bruto (PDB). Kegiatan tersebut dilakukan dengan unsur kesengajaan dan memiliki motif tertentu, antara lain: 1)Menghindari kewajiban perpajakan, baik pph, ppn maupun pajak lainya; 2)Menghindari kewajiban non-pajak seperti yang diatur dalam regulasi pemerintah;
3)Menghindari pemenuhan standar ketenagakerjaan yang legal, meliputi upah kelayakan minimum, jam kerja yang telah ditetapkan, standar keselamatan, dan lain-lainnya. 4)Menghindari kewajiban administratif dan prosedural, seperti perijinan dan sejenisnya.
Penyebab munculnya shadow economic: 1)Ketatnya regulasi pemerintah, baik itu dalam hal perpajakan, aturan bisnis dan investasi, serta regulasi lainnya yang mengurangi manfaat/keuntungan yang diperoleh individu dan entitas bisnis (perusahaan); 2)Pemerintahan yang tidak memiliki integritas dan justru bekerja sama dengan individu atau entitas bisnis dalam melanggar peraturan. 3)Keinginan individu maupun entitas bisnis yang mencari celah (loopholes) guna dimanfaatkan untuk mengejar keuntungan pribadi.
Tentu, shadow economic, berkembang biak terutama di negara-negara dengan penegakan hukum yang lemah, bahkan bisa dibeli.
Secara umum, penelitian-penelitian menyebutkan bahwa skala kegiatan shadow economic berada di kisaran 15-20% dari total pendapatan domestik bruto (PDB) di negara maju. Sedang untuk negara berkembang bisa mencapai 60-75% dari PDB.
Bisa jadi dalam kenyataan ditemukan angka yang lebih besar daripada angka di atas. Mengingat bahwa kegiatan ini mengandung makna terselubung dan tidak transparan; gelap dan diternak penguasa demi penebalan kantong mereka.
Di indonesia, shadow economic terbesar beredar di enam area: 1)Bisnis teroris; 2)Bisnis pelacur; 3)Bisnis narkoba; 4)Bisnis judi; 5)Bisnis undang-undang; 6)Bisnis jabatan presiden.
Bisnis haram ini mulai marak sejak Jendral Fasis Soeharto kudeta. Pasukannya merampok asset-asset terutama tanah-tanah yang isinya kebun, tambang dll dibagi-bagi ke jendral-jendral dan elit-elit orba yang kemudian dialihkan dipinjamkan atau disewakan atau dijual ke klien-klien (swasta dan asing).
Kebijakan itu dikopi SBY dan JW, yang pada akhirnya pola patron klien terbentuk. Makanya selalu dalam skala bisnis besar di perkebunan pertambangan kehutanan dll itu selalu ada swasta (asing dan dalam negeri) dan jendral-jendral dan elit-elitnya. Bisa dicheck komposisi saham, komisaris, BOD dan akta notaris bawah tangan. Lalu dengan modal itu dipakai untuk bisnis yang tak diurus negara (judi, lendir, narkoba) lalu ke teroris dan legal drafting serta kursi publik karena tidak ada UUnya.
Dus, mereka yang menganggap terorisme adalah soal ideologis, sesungguhnya ilmuwan jahil. Ini bisnis besar kaum serdadu begundal. Nilainya lebih dari 200 Triliun/tahun. Bisnis ini milik kaum bersenjata. Di situ ada korban, di situ ada yang naik pangkat. Itu rumusnya. Duitnya berputar-putar di antara mereka saja. Mana ada orang kampung punya senjata kecuali kong-kalikong dengan pimpinan serdadu begundal itu.
Di mana ada senjata dan kuasa, di situ serdadu butuh sansak nafsu. Berkembanglah bisnis pelacuran dan lendir. Tak ada pelacuran tanpa perlindungan pemilik senjata dan kuasa. Nilainya lebih dari 300 Triliun/tahun. Karenanya tak bisa dibasmi: sebab tahu sama tahu.
Agar lendir bisa berkepanjangan, mereka memproduksi narkoba. Korbannya kaum sipil kaya. Nilainya lebih dari 400 Triliun/tahun. Agar terlihat serius, dibuatlah lembaga BNN. Keren bukan sandiwaranya?
Agar kebahagiaan bertahan lama, dibuatlah judi. Ini bisnis setua peradaban yang dikutuk semua agama tetapi langgeng di semua negara. Nilainya lebih dari 500 Triliun/tahun. Menggiurkan bukan?
KINI MEREKA BERSEKUTU MEMILIKI RUMAH SAKIT, PARTAI DAN MEDIA SERTA SERDADU PLUS KAMPUS-KAMPUS.
Menyempurnakan temuan di atas, ilmuwan Andi Tadampali menulis bahwa kini tumbuh pembagian tugas di tiga oligarki tersebut: 1)Badut politik (oligarki politik) tugasnya menjadi pejabat politik puncak untuk menjalankan pemerintahan boneka;
2)Bandar politik (oligarki ekonomi) tugasnya mendanai seluruh kebutuhan untuk menang pemilu. Mulai dari logistik pemilu hingga suap politik pemilu;
3)Bandit Politik (oligarki sosial) tugasnya mobilisasi dukungan politik pemilu. Di sini para bandit politik gunakan segala cara agar rakyat mau mendukung/menangkan badut politik. Ada bandit politik yang gunakan pasal-pasal peraturan hukum, ayat-ayat kitab suci, dan teori-teori akademik.
Bagaimana dengan bisnis undang-undang dan ternak kekuasaan presiden? Tunggu kuliah umum dahsyat berikutnya.(*)