Kaum tua sedang dilanda galau, melihat yang muda tampil riang gembira. Mungkin dulu Bung Karno memulai aktif di partai juga seusia Kaesang. Maka usia 43 sudah menjadi presiden pertama RI. Pun masih banyak anasir yang membuat kedua generasi ini menjadi beda. Kualitas asupan gizi anak yang lahir era 1990-an jauh lebih baik dari bapaknya, apalagi eyangnya.
Dulu, bapak atau eyangnya, makan hanya sekadar perut penuh. Kalau pun ada asupan tambahan, buah atau aneka umbi, hasil kreasi otak kanan, “mencuri” di kebun tetangga. Bermain lumpur, mandi di kali, koreng di kaki, tungau di selangkangan, adalah hal biasa. Tak ada istilah higenis, karena belimbing cukup dilap dengan kaos yang sudah kotor. Kacang, ubi, ketela, atau jagung biasa dikonsumsi mentah. Makan daging atau telur hanya dalam rentang seminggu sekali, sebulan sekali, atau menunggu ada tetangga hajatan.
Lalu anak saya. Karena dendam kemiskinan orang tuanya, lahir dengan susu penuh nutrisi. Tak cukup hanya dengan ASI, ditambah dengan susu sapi berkandungan DHA-ARA. Konon menurut iklannya, akan meningkatkan daya tahan tubuh dan kualitas otak anak. Makan-minum lebih dari empat sehat, lima sempurna. Tak kenal lagi memancing belut. Mangga di kulkas sebulan bakal utuh, kalau tak dikupas. Yang pada akhirnya perkembangan kualitas otak, kapasitas memori, dan daya analisanya pun jauh dari generasi sebelumnya.
Tentang krisis etika, kita sedang mengalaminya. Yang muda mencontoh yang tua. Maka jika ada mentalitas yang kurang terpuji, mari berkaca, mungkin kita telah salah mendidik mereka. Pendidikan paling praktis dan efektif adalah dengan sikap-perilaku. Adakah kita telah berbuat salah yang secara tidak sadar dicopy -paste?
Lalu kami terhenyak ketika bertubi-tubi teknologi begitu mendesak, menghempaskan kaum tua menjadi kaum gaptek. Dari piringan hitam, menjadi kaset, berubah menjadi VCD, berkembang menjadi micro-chip dengan kapasitas thera. Sekian juta lagu dalam satu benda kecil. Tak ada lagi jarak, setiap saat kita bisa melihat dunia lain dari tangan. Tak perlu lagi berlangganan koran, bahkan televisi pun sudah teronggok, entah kapan terakhir dihidupkan. Tak perlu lagi rak tinggi dengan aneka koleksi buku, yang sisinya buat kudapan kutu. Entah ke mana mahluk berjenis perangko, telpon koin, gramapon, juga wesel.
Politik jalan ninja, bergerak dalam diam. Tak usah serang sana serang sini. Lakukan saja yang terbaik untuk partai dan rakyatnya. Tak perlu fitnah sana fitnah sini, cukup senyum dan santuy karena itulah anak muda. Tak perlu ragu, jika salah maka wajarlah karena masih muda. Tak seperti bapak dan kakeknya yang tak kunjung paham, bahwa mereka salah, menyalahi, dan mengulanginya lagi. Jangan bilang mereka pandir, karena mereka melakukannya dengan sadar. Hanya butuh pura-pura nurut dengan yang mulia, agar aman tentang posisi kekuasaan semunya. Menikmati sebagai Kacung Korea.
Disparitas pola pikir yang mungkin terlalu jauh. Kaum tua yang mulai takut kehilangan wibawa dan pengaruhnya, semacam penyakit post power syndrome. Tak sadar bahwa gaya dan era berubah. “Dulu kami..” itu dulu, Pakde. Sekarang beda gaya. Lupakan orasi palsu, cukup senyum, angkat kedua tangan membuat lambang cinta. Suka-suka..
Tidur yang cukup, jangan terlalu sering marah-marah, ingat darah tinggi, jantung, asam urat, gula darah dan aneka penyakit yang sudah menari di tubuh. Tetap woles karena mereka ingin berbuat sesuatu untuk negeri. Usah risau tentang era 4.0 atau AI (Artificial Intelligence), nanti malah vertigo kumat. Piknik dan nikmati masa tua, sukur punya passive income.
Penulis adalah Pemerhati Sosial, Budayawan dan Jurnalis Senior