![]()
Oleh : Trisnatun Abuyafi Ranaatmaja
Lebaran memunculkan deretan kenangan bersama para kekasih.
Tanpa sowan dan sungkem ke orang tua memicu rasa sedih.
Jika orang tua memang sudah berpulang ke rahmatullah, doa dan menguatkan keiklasn hati jadi pilihan yang logis.
Tentu beda dengan yang saat ini jauh dan tak terengkuh.
Orang tua masih ada tetapi terhalang untuk jumpa.
Siapapun yang ingin bertandang dicurigai membawa penyakit untuk para kekasih.
Konon semua rasa itu bisa terwakili oleh kemajuan teknologi.
Bisa vidio call dan silaturahmi virtual agar lebih aman semuanya.
Namun, lunaskah rasa jika hanya demikian caranya?
Bagaimana andai lebaran tahun ini adalah peluang terakhir untuk berjumpa?
Mengapa saat ini tidak sowan??????
Ah, semua ini memang jadi sumber ke galauan di era new normal ini.
Ibarat ditawari makan buah simalakama.
Di makan bapak mati,tidak di makan ibu yang mati.
Mudik bisa membawa sebab sakit,tak mudik bisa pula jadi sebab sakit.
Orang tua yang sakit rindu bisa turun imunitasnya dan akhirnya sakit juga.
Maka,dimanakah pilihan atasnama cinta dan bakti harus di jatuhkan?
Sementara, taat pada penguasa dan pemimpin serta ulama juga sebuah kewajiban yang harus diikuti oleh orang beriman yang telah menyelesaikan ibadah puasa sebulan lamanya.
Sungguh sebuah dilema yang menjadi kegalauan jiwa.
Ajibarang, 7 Mei 2021

Trisnatun Abuyafi, tinggal di Ajibarang. Guru yang sekarang kerja di SMP N 1 Wangon dan mencoba peduli dengan gerakan literasi sekolah. Tulisannya berupa essay,puisi dan cerpen. Beberapa bukunya telah terbit mandiri dan berkontribusi di banyak antologi lokal maupun nasional