INDIE BANYUMAS
  • BERANDA
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
INDIE BANYUMAS
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
INDIE BANYUMAS

Cerita Zayin, Penyintas Covid-19  Yang Hampir ‘Lewat’ Di Tanah Rantau

Selasa, 11 Mei 2021

Dua tahun lebih Pandemi Covid-19 telah menyerang seluruh penjuru negeri. Sebuah bencana umat manusia yang juga melanda seluruh negara di belahan dunia ini begitu banyak  menyisakan kisah-kisah terutama bagi para penyintas Covid-19. Apa Itu Penyintas COVID-19?

Penyintas Covid-19 menjadi istilah yang sering didengar selama masa Pandemi. Penyintas dalam KBBI, berasal dari kata sinta, yang artinya terus bertahan hidup, mampu mempertahankan keberadaannya. Penyintas Covid-19 bisa diartikan sebagai seseorang yang telah mampu bertahan hidup dari serangan virus Covid-19. Mereka juga biasa disebut sebagai survivor. Bahkan, sejumlah relawan membentuk komunitas penyintas untuk membantu pasien yang masih berjuang sembuh dari Covid-19. Namanya Komunitas Pendonor Plasma Konvalesen bagi pasien Covid-19.

Hari ini, sekitar satu jam menjelang suara bedug panggilan sahur yang hampir tepat sebulan terdengar dari samping mushola kecil di samping rumah. Zayin yang sudah sejak pukul 01.30 WIB ‘ngendong’ ke rumah, membuat saya kaget jika dia bercerita kisah pergumulannya dengan virus corona selama 20 hari penuh, pada akhir Januaril lalu. Saya mendengarnya dari ibu saya jika dirinya sedang sakit, tetapi itu baru sekitar awal bulan lalu dan Zayin memang mengaku tidak menceritakan apa yang ia alami kala itu, bahkan sampai berbulan-bulan setelahnya.

Saya pun menjadi pendengar yang baik, mengetahui kisah langsung dari seorang survivor alias penyintas covid-19 yang merupakan sahabat, juga kerabat dekat. Buat saya, kisah seorang penyintas selalu menarik, termasuk kisah Zayin yang belum pernah saya dengar atau baca sebelumnya dari berbagai media. Banyak pesan yang tak ia sampaikan secara lagsung, tetapi dari ceritanya, isyarat itu mendatangkan banyak kesadaran bagi saya.

Niat menuliskan obrolan menunggu waktu sahur dengannya, lalu berbagi kepada yang mau untuk membaca, menjadi penting bagi saya yang terkadang masih ragu akibat pola kehidupan yang belum lagi sama sejak Pandemi menghantui negeri ini.

Zayin Ma’ruf. Bukan hanya seorang kerabat, dia sejak remaja menjadi sahabat yang hampir selalu bersama dalam setiap aktivitas harian. Tahun 2016-an, dia hijrah dari Cilongok ke Jakarta. Bekerja di dunia yang dia gandrungi, fotografi. Cita-citanya sejak dia masuk kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta dengan mengambil studi bidang hukum agar bisa menjadi seorang lawyer, ia tanggalkan setelah berkenalan dengan dunia fotografi. Singkat kata, dari dunia  jeprat jepret itulah dia akhirnya bekerja di sebuah studio foto, di Tanah Abang. Selain studi foto, sang boss juga memiliki sejumlah usaha lain diantaranya vape store, catering, dan sekarang dia malah diberi tugas di bidang ekspedisi.

Sudah dua tahun saya tak berjumpa dengannya. Tahun lalu, Lebaran ia habiskan di tanah rantau. Larangan mudik kala itu juga disampaikan pemerintah di awal Pandemi sebagai salah satu langkah strategis membentengi penyebaran virus corona sampai ke daerah. Zayin pun patuh terhadap larangan tersebut. Dia tahu betul, juga meyakini bahwa virus corona memang nyata. Padangannya itu bukan berasa dari celoteh-celoteh para ahli, apalagi mereka yang menjadi terkenal karena menyampaikan ihwal wabah yang sedang terjadi ini sebagai sebuah konspirasi. Zayin amat yakin jika wabah Covid-19 itu bukan lahir dari rahim konspirasi. Dia menjadi saksi tatkala tak sedikit dari relasinya mengalami langsung serangan virus. Sudah tak terhitung berapa jumlah orang di sekitarnya yang meninggal dunia gegara virus corona.

Sama seperti kebanyakan orang lain, Zayin dilanda paranoid, khawatir, cemas dan takut akan ancaman yang tak bisa ia lihat dari kedua matanya. Apalagi Jakarta, tempat dimana dia hidup punya rekor jumlah masyarakat yang teridentifikasi positiv Covid-19 disertai angka kematian, baik dari tenaga medis maupun masyarakat umum. Di awal Pandemi itulah Zayin lebih banyak berdiam diri rumah yang ditempatinya, milik sang boss.

Waktu terus berlalu, aktivitas kembali dijalani Zayin yang kemudian berpindah ke divisi ekspedisi di perusahaan yang sama. Bukan hanya dia tentu saja, semua orang pada akhirnya harus terus bergerak karena tuntutan kebutuhan harus dipenuhi.  Pemerintah juga telah memberikan sedikit kelonggaran dengan syarat wajib bahwa segala aktivitas kini harus dijalankan dengan penerapan protokol kesehatan yang benar. Untuk yang satu itu, Zayin mengaku sangat disiplin. Tak pernah lepas masker ketika berinteraksi dengan para klien maupun kawan-kawan, baik ketika di lingkungan kerja maupun lingkungan dia bermain. Jaga jarak, pun ia terapkan meskipun sejak awal tahun lalu ia mendapati seringkali aturan tersebut dilanggar oleh masyarakat.

“Sejak Pandemi saya juga melakukan vaksin influenza, selain penerapan protokol kesehatan baik ketika masih belum beraktivitas pada awal Pandemi ada, sampai memulai kembali bekerja. Saya mah termasuk disiplin dalam hal itu, sebab saya begitu yakin bahwa dunia sedang diserang virus, termasuk di negeri kita,” katanya.

Zayin Ma’ruf, penyintas Covid-19

Zayin, selain karena yakin akan adanya virus corona, dirinya juga sadar diri akan penyakit yang ia derita yakni asthma. Itulah kenapa dirinya menjadi sangat memperhatikan protokol kesehatan. Apalagi dalam kegiatan kesehariannya, Zayin lebih banyak melibatkan diri berinteraksi dengan orang lain, para klien perusahaan tempatnya bekerja. Hingga rasa paranoid itu kembali melanda ketika dua rekan satu kantornya dinyatakan positif Covid-19 setelah menjalani swab test. Tak lama kemudian,  virus itu menyerang seluruh keluarga sang boss.

Rasa cemas kembali menghantuinya, tapi Zayin berhasil  melawan pikiran tersebut. Apalagi, hanya dalam hitungan hari, rekan dan keluarga sang Bos sembuh dari serangan virus itu dengan menjalani perawatan di rumah sakit, juga ada yang hanya menggunakan pola rawat jalan dengan meminum obat-obatan. Zayin tetap tak terpengaruh dengan kondisi di lingkungannya, ketika rekan dan sang boss terkena juga oleh serangan virus mematikan tersebut.

Hari itu, 30 Januari 2021. Zayin, seperti hari-hari biasa menjalankan aktivitas di kantornya. Pagi itu dia merasa bugar, sehat wal afiat. Meski begitu, dia tetap tak pernah lepas dari masker sebagai bagian dari penerapan protokol kesehatan. Juga vitamin yang rutin ia minum, selain vaksin influenza yang sebelumnya dia jalani juga menjadikan imunitas fisiknya prima. Semua menjadi berubah ketika hari mulai siang, ketika dirinya menaiki tangga menuju lantai ruang atas di kantornya, tetiba ia merasakan sesak nafas yang begitu berat. Kali ini, sesak nafas itu bukan seperti yang biasa ia alami sebagai penderita asthma.

“Awalnya mual, lalu pusing tak lama saya merasa sesak yang luar biasa, dan katanya saya ambruk. Akhirnya, saya ditolong kawan lain, mencoba untuk segera masuk ke ruang perawatan di rumah sakit. Dalam hati saya berkata, saya udah begitu disiplin, eh ternyata kena juga,” tutur Zayin.

Meski tak bertenaga, setelah tubuhnya ia rebahkan, Zayin masih bisa berpikir akan langkah apa yang akan dia lakukan. Dia teringat seorang kawan yang wafat sebelum masuk ke ruang perawatan rumah sakit ketika sedang masuk dalam daftar tunggu. Hal sama juga terjadi pada orang di sekitar tempat tinggalnya yang ia kenal, juga wafat karena tidak bisa masuk ke dalam ruang perawatan. Ada beberapa pilihan tempat yang dia tuju, tapi konsentrasi Zayin kala itu lebih ke lokasi yang paling terdekat. Antara Wisma Atlit, atau ke Cengkareng.

Saat sedang gundah, kondisi tubuh yang goyah, Zayin beberapa saat terbaring di salah satu ruangan sembari menghubungi seluruh relasinya.

“Saat itu, saya terus berpikir kemana badan ini akan saya bawa, hingga akhirnya saya memutuskan menghubungi seorang dokter. Saya teringat kawan yang meninggal padahal hanya menunggu antrian saja di salah satu rumah sakit,” kenang Zayin.

Dia pun sadar, sebagai warga rantau, meski pemerintah telah membangun sarana dan prasana untuk penanganan pasien Covid-19 tetapi prioritas jelas lebih kepada warga dengan pemilik kartu identitas DKI Jakarta. “Karena yang terjadi memang seperti itu, pemerintah membangun untuk warga seluruh Indonesia tetapi kan lokasi di Jakarta, adapun saya beridentitas bukan warga sana,” ungkapnya.

Sampai pada akhirnya melalui seorang kawan, dirinya berhasil menghubungi seorang dokter yang bersedia untuk merawatnya sampai sembuh. Dengan langkah tertatih, nafas yang sulit untuk bersuara, dia pun berhasil menyewa apartemen. Kondisinya waktu itu, bisa dikatakan seperti orang normal, meski sesekali sesak nafas berat membuatnya seakan mau berhenti hidup.

Zayin yang telah memutuskan untuk melakukan perawatan khusus mandiri, tak lama kemudian bertemu dengan seorang dokter yang sudah sepakat untuk mendampinginya secara khusus. Oleh sang dokter, Zayin langsung ditangani dibantu oleh dua orang perawat.

Takdir manusia memang telah pasti ditentukan oleh Tuhan. Ketika sudah bertemu dokter bersama dengan dua perawatnya itu, Zayin mengalami puncak rasa sakit yang luar biasa. Wajahnya pucat, nafas satu-satunya kian sempit, dan semakin parah dari detik per detik seiring rasa khawatur dan kalut. Saat itulah, sang dokter membisikan kalimat kepadanya, “Ketika semua sudah sampai pada titik terendah, kita akan kembali kepada kepercayaan yang kita anut, ” begitu kalimat yang Zayin ingat.

Zayin lantas meminta izin kepada dokternya, untuk menjalankan sholat. Dengan tertatih, Zayin mengambil air wudlu, itupun hanya dengan niat dalam hati, tanpa disertai doa sunnah seperti yang biasa ia lakukan. Setelah berwudhlu, Zayin merasakan kondisinya semakin parah. Nafasnya kian menyempit, sepersekian detik seperti berhenti secara teratur. Dia pasrah, tapi sekuat tenaga harus bisa menjalankan sholat. Dia berpikir, apabila itu adalah waktu terakhirnya di dunia, maka dia ingin meninggal dalam keadaan sedang sholat. Usahanya gagal, Zayin tidak bisa menyelesaikan bacaan wajib dalam sholat, surat Al Fatihah. Dia mengulanginya, kembali gagal. Mengulangi lagi, juga gagal. Akhirnya dia kembali merebahkan diri ke tempat tidur, membaca doa apa saja yang ia bisa. Hingga akhirnya Zayin tertidur, dan bangun masih dengan ditemani sang dokter beserta kedua perawatnya.

Usai tidur itulah Zayin merasakan sedikit lebih baik, meski sesak nafas masih terus menggangunya. Dia kembali mencoba menjalankan Sholat, dan berhasil. Lega, tetapi sesak nafas yang begitu berat membuatnya tetap pesimis. Apalagi, hampir seluruh sendinya ia rasakan kaku, indera penciuman sama sekali tak berfungsi, mual dan pusing juga menghampiri. Dokter kembali memeriksanya, lalu memberinya obat-obatan. Beberapa jam setelah merasakan semua rasa sakit termasuk sesak nafas yang begitu dahsyat, Zayin pun bisa tertidur pulas.

Waktu bergulir, Zayin memperoleh perawatan ekstra meski dirinya baru berkenalan dengan sang dokter. Setiap dua jam sekali, dia didatangi secara bergantian, baik oleh si dokter maupun perawatnya. Hingga hari ketiga, dia mulai melakukan aktivitas berjalan kaki mengelilingi apartemen yang ia sewa. Selama menjalani hari-hari itulah, Zayin lebih banyak mendekatkan diri kepada Tuhan.

Tak ada yang tahu selain rekan satu kantor dan sang boss. Pada hari ke-19, sehari setelah dirinya oleh sang dokter diperbolehkan pulang, Zayin hanya menghubungi adiknya, Laely. Dia pun hanya menyampaikan dirinya sudah kembali sehat, setelah menjalani perawatan akibat positiv Covid-19.

Kini, meski sudah kembali sehat, Zayin tetap menjalankan test swab secara rutin. Termasuk sebelum sampai ke rumahnya, dia terlebih dulu memastikan jika hasil dari test-nya adalah negatif. Dengan pengalaman yang dirasakannya itu, Zayin pun berpesan agar tidak menyepelekan apa yang tengah digalakkan pemerintah tentang penerapan  protokol kesehatan. Tetap menjaga memakai makser, mencuci tangan, dan menjaga jarak.

“Sejak awal saya yakin akan bahaya ini, dan meski telah disiplin tetapi saya masih juga terkena. Jangan anggap remeh, karena ketika Anda hidup sendirian di luar sana dan tidak memperoleh akses dari pelayanan pemerintah yang sejatinya sangat baik, maka akan sangat sulit dihadapkan pada biaya yang mahal jika harus merawat mandiri,” tuturnya.

Angga saputra, 10 Mei 2021

ShareTweetKirimkan
Sebelumnya

Gary Neville Prediksi Tiga Pemain MU Ini Pergi di Akhir Musim

Selanjutnya

Gelar Musrenbang RPJMD, Bupati Kebumen: Kita Ingin Bangun dari Desa

Selanjutnya

Gelar Musrenbang RPJMD, Bupati Kebumen: Kita Ingin Bangun dari Desa

Ini Aturan Terbaru Pelaksanaan Shalat Idul Fitri dan Halalbihalal di Cilacap

Tentang Kami / Redaksi
Pedoman Media Siber / Independensi & Donasi

© 2021 indiebanyumas.com

Tentang Kami / Redaksi / Pedoman Media Siber / Independensi & Donasi

© 2021 indiebanyumas.com
Tidak ada hasil
Lihat semua hasil
  • BERANDA
  • NASIONAL
  • HUKUM
  • POLITIK
  • EKONOMI
  • DUNIA
  • BANYUMAS RAYA
  • LAINNYA
    • CATATAN REDAKSI

© 2021 indiebanyumas.com