![]()
Banyumas, indiebanyumas.com – Kaum Punk bagi sebagain besar masyarakat masih dianggap hanya sebatas perkumpulan anak-anak muda yang berbasis musik sebagai aktivitas utama. Setelahnya, mereka berkumpul selayaknya anak muda biasa, dan seringkali dikaitkan dengan alkohol, bahkan sampai tindak kriminal.
Tak heran stigma negatif susah untuk hilang dari komunitas punk, apalagi mereka ditunjang dengan penampilan yang out of the box. Tatto, gaya rambut, dan sebagaian besar pakaian yang penuh aksesoris di luar trend. Bahkan dalam dua dekade, keberadaan anak punk seperti terlegitimasi dengan tindak berandalan dengan banyaknya kejahatan anak-anak muda yang mengklaim dirinya berasal dari skena punk. Apakah benar mereka terlalu susah untuk diberi label lain sebagai gerombolan anak muda nakal?
Coro, dan empat kawan lainnya merupakan kaum punk yang datang dari wilayah barat Banyumas. Minggu (30/5/2021) sore kemarin, mereka tampaknya justru bisa menunjukan hal lain dari stigma yang melekat atas kaum punk oleh masyarakat. Setidaknya itu berlaku bagi warga di Desa Tamansari Kecamatan Karanglewas. Apa yang mereka lakukan?
Coro dan kawan-kawan sore kemarin dengan lengkap mengenakan atribut ‘wajib’ mereka sebagai anak punk, tetiba menjadi pusat perhatian masyarakat di sekitar lapangan sepakbola desa setempat karena menggelar Pasar Gratis Era Pandemi. Ada dua barang dagangan gratis yang mereka jual, 200 bungkus sayuran dan mungkin ada 100 Pcs pakaian layak pakai yang digelar di aula desa setempat. Mereka tak ayal langsung dikerubut oleh warga khususnya ibu-ibu, dan tak sedikit anak muda serta kaum lelaki dewasa. Hanya dua jam sejak mereka menggelar barang dagangan gratisnya, semua yang mereka bawa ludes habis.

Acara Pasar Gratis Era Pandemi yang diinisisasi oleh kelompok anak punk dari wilayah Banyumas barat itu dimulai pukul 15.30 WIB. Coro yang menjadi senior dari anak-anak lain yang oleh warga setempat langsung disambut baik karena telah mengumumkan maksud kedatangan mereka, menyampaikan, kegiatan yang dia lakukan ini adalah bentuk dari sikap kepedulian komunitas punk kepada sesama masyarakat tanah air ketika wabah Pandemi Covid 19 belum berakhir.
“Kami Alhamdulillah bisa melakukan ini karena tekad, dan silahkan bagi seluruh masyarakat yang akan mengambil barang yang kami sediakan. Ini dari hasil kami mengumpulkan dana sendiri, bukan dari golongan manapun atau partai, juga bukan dari pemerintah. Jikalau kami bergerak seperti ini kok ada yang mendukung, silahkan. Syaratnya tinggalkan baju masing-masing, maksudnya adalah baju golongan manapun,” tegas Coro yang punya nama asli Didik, anak muda asal Cilangkap, Gumelar.
Stigma kaum punk yang hingga hari ini masih melekat sebagai gerombolan yang mungkin jika dihitung, satu digit bisa disamakan sebagai kelompok penjahat, memang tidak pernah peduli akan anggapan tersebut. Ya itulah Punk. Kaum Punk, misalnya, memaknai anarkisme (bukan tindakan anarkis), sebagai suatu tindakan tanpa kekangan aturan. Karena mereka bisa menciptakan sendiri aturan hidup yang mereka jalani. Dan ini sesuai dengan etika DIY (Do It Yourself). Itulah prinsip kaum punk.
“Dalam konteks acara ini, ya kami ingin menjalani apa yang telah menjadi prinsip kaum punk, Do It Yourself,” kata Coro.
Kata DIY yang kependekan dari Do It Yourself dalam Bahasa Indonesia memiliki arti “lakukan sendiri”. Kata atau aktifitas ini sudah lama digunakan secara umum sejak tahun 1950 di Amerika Serikat. Secara prinsip, DIY ditujukan untuk aktifitas yang mandiri mengarah kepada kegiatan membangun, merakit, membuat sendiri tanpa bantuan tenaga ahli atau professional.
Contoh bagi mereka dalam berkarya di dunia musik, kaum punk biasanya tidak mau untuk bersinggungan dengan label-label besar sebagai produser rekaman. Mereka memilih sendiri produksi sesuai dengan kemampuan mereka, tetapi diatur oleh mereka sampai produksi tersebut sampai ke tangan para penggemar. Dalam dunia musik, prinsip seperti itu yang kemudian dikenal dengan istilah indie, dari kata independen.
Kegiatan pasar gratis oleh kaum punk ini sudah berjalan 12 kali. Bahkan Coro dan kawan-kawan memulainya dari Wanareja, Cilacap. Gerakan kaum punk ini merupakan Inisiatif bersama dari komunitas yang biasa berkumpul di sekitar Wangon. Maklum, Woro Cs kebanyakan berasal dari Lumbir, Gumelar dan Wangon.
“Kami memulai dari hasil mengumpulkan uang yang tersisa setelah ngamen. Kami kumpulkan selama sepekan, ada awalnya Rp 200 ribu, lalu tambah dan Alhamdulillah ada yang ikut membantu,” kata Coro.

Salah seorang volenteer dari Alumni SMP Negeri 4 Purwokerto, Vita Wulan mengungkapkan, sejak tahu ada gerakan dari komunitas punk di wilayah barat dirinya tak mau menunggu lama untuk ikut mendukung gerakan mereka. “Saya menghubungi kawan lain, dan mereka punya pandangan sama dengan saya yang lalu siap ikut membantu perjuangan anak-anak punk ini,” katanya.
Coro menegaskan, dirinya terbuka bagi siapapu yang ingin membantu atau berdonasi menyumbangkan apa yang bisa dijual gratis dalam kegiatannya. “Dengan syarat, tidak ada tendensi apapun selain membantu gerakan kepedulian. Kami juga menjelaskan akan ini kepada yang ingin mensupport,” kata Coro.
Kaum punk yang dimotori Coro ini rencananya akan terus berkeliling setiap satu pekan sekali. Untuk sementara, barang dagangan gratis yang mereka bawa adalah sayuran yang mereka beli langsung dari Kaligua. Lalu, pakaian layak pakai dari berbagai usia dan semua jenis kelamin. Tak ada kata menyerah bagi mereka, apalagi prinsip DIY menjadi dorongan tekad dalam setiap gerak langkah mereka. Woro dan kawan-kawan, kalian lebih daripad pantas sebagai contoh tauladan bagi siapa saja, khususnya bagia yang ingin bergerak dengan prinsip Do It Yourself.
Penulis: Angga Saputra