FOKUS – Audiensi antara warga Desa Karangrau, Kecamatan Sokaraja, dengan pihak pengembang perumahan Sapphire Mansion, berlangsung alot dan memakan waktu sekitar tiga jam. Pertemuan digelar secara tertutup di Hotel Magnum, Sokaraja, Senin (26/5/2025), dan dihadiri oleh berbagai pihak terkait.
Hadir dalam audiensi tersebut perwakilan Pemdes Karangrau, Polsek Sokaraja, Koramil, Kejaksaan, Camat Sokaraja, Kesbangpol, pengembang dari PT Lingkar Jati Permai, Yayasan Tri Bhata Pratista (Tribhata), serta sejumlah perwakilan warga. Sementara itu, puluhan warga lainnya menunggu di halaman hotel untuk mengikuti perkembangan pertemuan.
Perwakilan developer, Ikbal, menyatakan bahwa pihaknya siap memenuhi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) bagi masyarakat sekitar, selama masih dalam batas kewajaran. Salah satunya adalah penyediaan lahan makam.
“Soal lahan makam akan kami penuhi. Kami siapkan dua persen dari lahan sebagaimana ketentuan. Tinggal menunggu penunjukan lokasi dari pihak desa,” ujar Ikbal.
Terkait tuntutan warga untuk pembangunan lapangan sepakbola outdoor, Ikbal menyebut bahwa hal itu merupakan isu lama. Ia mengklaim bahwa pada perjanjian awal tahun 2017, pihak pengembang dan Pemdes telah menyepakati pembangunan lapangan indoor, bukan lapangan terbuka.
“Sudah ada berita acara kesepakatan pada Desember 2017. Tapi kalau dibuka kembali, kami siap berdiskusi,” katanya.
Namun, Kepala Desa Karangrau, Sugiono, membantah telah terjadi kesepakatan final mengenai jenis lapangan. Pihaknya, mewakili warga, tetap mengajukan permintaan pembangunan lapangan sepakbola outdoor.
“Kami tetap bertahan untuk pembuatan lapangan outdoor. Ada tiga titik lahan yang memungkinkan, tapi akan kami musyawarahkan lebih lanjut,” ujarnya.
Persoalan Tukar Guling Tanah Desa
Di sisi lain, Ketua Yayasan Tribhata, Nanang Sugiri, menyoroti aspek yang lebih fundamental, yaitu tukar guling tanah desa yang terjadi pada tahun 1997. Ia mengungkapkan bahwa tanah bengkok desa seluas 94.000 meter persegi telah ditukar dengan lahan seluas 103.000 meter persegi yang terletak di dua wilayah kecamatan: Kembaran dan Sumbang.
Nanang meminta agar masyarakat dan pemerintah desa mewaspadai penggunaan istilah “kompensasi”, “CSR”, atau “dana sosial” oleh pihak pengembang, karena menurutnya aset desa harus dipertahankan nilainya secara setara.
“Jika berbicara soal aset desa, nilai tukar gulingnya harus adil dan proporsional. Jangan sampai dibungkus dengan istilah CSR yang sebenarnya mengaburkan substansi,” tegasnya.
Audiensi ini belum menghasilkan kesepakatan final, terutama terkait pembangunan lapangan sepakbola dan penyediaan lahan makam. Kedua pihak sepakat untuk melanjutkan dialog dan mencari titik temu dalam musyawarah lanjutan yang akan dijadwalkan kemudian. (Angga Saputra)


