Prof Yudhie Haryono PhD
Rektor Universitas Nusantara
Berulang. Bahkan berulang-ulang. Seperti membentuk kultur. Puluhan ribu jemaah yang tertipu biro umroh mirip jutaan warganegara yang tertipu pesta pilpres dan pilkadal.
Tetapi, kedua korban sama-sama dalam keadaannya: negara tak hadir untuk menegakkan hukum (the basic law of survival). Kini korban-korban itu tak punya tempat mengadu. Sebab negara dan elitelah pelaku tipu-tipu tersebut. Negara tiada, majelis rakyat hilang, wakil rakyat budek, tuli dan buta.
Itulah nasib terbaik dan terkeren hidup di negara yang defisit negarawan, surplus politikus. Adanya pimpinan agama penjual ayat dan petugas partai pembawa batok utang mengemis ke penjuru dunia.
Dalam kesempitan pikiran dan tindakan para pemimpin kita yang dua itu (penjual ayat dan pengemis batok) hilanglah kemakmuran bersama (a commonwealth) dan kebahagiaan bersama (a common happines) serta keadilan sosial bagi sesama (the pursuit of social justice).
Bagaimana mengatasi defisit gagasan dan tindakan besar di negara plural seperti Indonesia? Dengan dua cara. Pertama, dengan menciptakan secara terus menerus diskursus guna mencapai konsensus. Kedua, dengan menghadirkan agensi jenius dan bermental merdeka, mandiri, modern dan martabatif.
Tetapi, untuk mencapai konsensus rasional yang diterima secara nasional, kita harus mencipta lima prasyarat dialogis yang keren bin beken.
Pertama, kemampuan untuk terbuka pada penguasaan masa lalu dan masa kini dari para warganegara. Kelas filosof dan para ariflah yang tepat dalam keikutsertaan ini.
Kedua, partisipasi dalam diskursus hanya mungkin, jika orang mempergunakan bahasa yang sama dan secara konsisten mematuhi aturan-aturan logis dan semantis dari bahasa tersebut.
Ketiga, seluruh hasil dari diskusi dan perdebatan rasional itu digerakkan demi terciptanya masa depan yang lebih baik dan bermartabat dengan kerelaan masing-masing pihak meninggalkan “wajah buruk masa lalunya.”
Keempat, setiap warganegara yang memiliki maksud untuk mencapai konsensus harus independen dan imparsial serta memandang para peserta lainnya sebagai pribadi-pribadi otonom yang tulus, bertanggungjawab, sejajar dan penghayat sekaligus pengamal konstitusi.
Kelima, hadirnya hukum yang dipatuhi secara umum guna mengamankan proses diskusi dari tekanan dan diskriminasi. Hukum tersebut harus memastikan bahwa orang mencapai konsensus berkat “paksaan tidak memaksa dari argumen yang lebih baik.”
Inilah rezim ide dan gagasan. Satu pola kehidupan yang dipimpin oleh ide terbaik, gagasan terhebat, aksi jenius. Dari sini, kehidupan kita adalah epistema dari kalimat, “lihat isi perkataannya, bukan lihat siapa yang berkata-kata.”
Demokrasi kita menjadi ruang jual beli ide bukan uang dan barang. Aksiologi idenya adalah kesetaraan manusia dalam bernegara. Tiap manusia bernilai karena ide dan gagasannya bukan berapa uangnya, anak siapa dan apa agamanya. Ini soal hidup bersama; adil, berdaulat, bermartabat dan sejahtera bersama. Tentu bukan soal hidup berbasis sara.
Inilah inti demokrasi terpimpin atau disebut demokrasi terkelola. Tentu ini istilah untuk sebuah pemerintahan demokrasi yang berbasis pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah guna menghasilkan kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Demokrasi ini pernah juga menjadi bagian dari perkembangan demokrasi di Indonesia.
Kita akan kembali ke sana demi kemerdekaan 100% bin keadilan plus kemartabatan bagi semua. Semoga.(*)