FOKUS – Polemik tunjangan perumahan dan transportasi bagi pimpinan serta anggota DPRD Kabupaten Banyumas terus menuai sorotan publik. Akademisi dari UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri dan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Purwokerto, Dr. Barid Hardiyanto, M.Si., menawarkan gagasan konkret untuk realokasi anggaran agar lebih berpihak pada masyarakat kecil.
Menurut Barid, dana yang signifikan dapat diselamatkan jika sebagian porsi tunjangan DPRD dikurangi. Ia memaparkan, apabila 50 anggota dewan dipotong Rp30 juta per orang setiap bulan, maka akan terkumpul Rp1,5 miliar per bulan atau setara Rp18 miliar dalam setahun.
“Dana Rp18 miliar itu bisa dialihkan untuk program-program yang langsung menyentuh kebutuhan dasar masyarakat Banyumas,” jelas Barid yang juga pegiat di Lembaga Penelitian Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan Hidup (LPPSLH), Minggu (21/9/2025).
Barid mengusulkan tiga prioritas penggunaan anggaran efisiensi tersebut:
1. Mengembalikan kuota KIS yang kabarnya banyak berkurang, dengan rata-rata pengurangan lebih dari 100 penerima di tiap desa.
2. Perbaikan infrastruktur jalan kabupaten dan desa yang rusak, guna mendukung mobilitas serta perekonomian warga.
3. Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) agar ratusan rumah warga miskin bisa menjadi tempat tinggal yang sehat dan aman.
“Atau bisa juga digunakan untuk kebutuhan lain yang dampaknya langsung dirasakan masyarakat. Intinya, anggaran publik harus kembali pada esensinya, yaitu sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk segelintir elite,” tegas Barid.
Ia juga menekankan pentingnya transparansi agar dana efisiensi tidak justru dialihkan ke pos-pos yang kurang produktif. “Jangan sampai dana hanya pindah ke pokir, aspirasi, atau kunjungan kerja yang tidak esensial. Harus ada mekanisme akuntabilitas agar dana sampai ke pos yang tepat,” ujarnya.
Lebih jauh, Barid menilai tunjangan fantastis DPRD seharusnya dipandang secara komprehensif, termasuk di tingkat eksekutif.
“Meninjau ulang semua pos anggaran yang tidak mencerminkan rasa keadilan publik adalah wujud empati dan keberpihakan pada masyarakat kelas bawah. Ini bukan semata soal angka, tapi soal kepatutan,” pungkasnya. (Angga Saputra)


