BANYUMAS, indiebanyumas.com – Sejumlah agen e warong di Kecamatan Cilongok menolak ketika elemen masyarakat meminta mereka beralih membeli hasil panen petani di desanya. Agen yang menolak tersebut ada di dua desa yaitu di Desa Sudimara dan Batuanten. Mereka beralasan sudah terikat kontrak kerjasama dengan penyalur komoditi beras sebelumnya.
Agen e Warong Dwi Astuti di Desa Sudimara, melalui Solihun yang tak lain adalah suami dari Dwi mengatakan dirinya tahu bahwa banyak petani memang di desanya yang ingin dibeli, namun dirinya beralasan sudah ada perjanjian kerjasama dengan agen sebelumnya.
“Karena saya sudah ada perjanjian kerjasama dengan suplier sebelumnya, apalagi bermaterai saya tidak berani,” katanya. Sebelum memutuskan, Solikhun juga mengatakan dirinya harus terlebih dulu menyampaikan ihwal ini kepada paguyuban.
Agen e warong Batuanten, Karseno mengungkapkan, ihwal para petani lokal di desanya yang mengeluhkan hasil panen mereka tidak terbeli selama ini memang sudah ia ketahui. Sebagai agen, dirinya mengaku sepakat dan siap untuk menerima tawaran yang datang dari Kelompok Usaha Marhaen Cilongok yang ingin memberdayakan hasil panen petani lokal khususnya beras dalam pendistribusian Bansos Sembako.
“Sebenarnya saya sepakat dan setuju namun dilakukan secara bersama, jangan hanya saya, ” kata Karseno.
Entah kekhawatiran apa yang dirasakan Karseno, agen lain di desa tersebut juga beberapa kali ditemui oleh Kelompok Usaha Marhaen Cilongok sulit untuk ditemui. Melalui saluran seluler, satu dari dua agen di desa tersebut selain Karseno juga tidak menghiraukan.
Ini tentu berbeda dengan satu agen di Desa Sudimara lainnya, Ny Dasirah. Dia menyatakan sudah dari dulu menunggu adanya pihak yang mau melindungi kebebasan dirinya sebagai agen dalam menentukan kepada siapa dirinya memilih membeli komoditi. Terutama untuk komoditi beras, kata dia, banyak petani yang akhirnya menjual harga gabah dengan harga sangat murah asalkan terbeli.
“Saya dari dulu menunggu ada orang yang berani memberikan jaminan apabila kami memilih membeli komoditi beras orang sini tidak terjadi masalah bagi saya terkait keagenan, karena sata khawatir nanti jika memilih sendiri ijin e warong saya dicabut,” kata Dasirah.

Koordinator Kelompok Usaha Marhaen Cilongok, Purwoko mengatakan, selain kedua desa dirinya sudah menerima sedikitnya 4 desa lain berkaitan dengan komoditi lokal terutama beras yang terindikasi dimonopoli oleh satu suplier.
“Kalau yang sudah pasti kami menerima data keluhan langsung dari petani ada di dua desa. Adapun di empat desa lainnya, ketika kami menawarkan diri untuk bekerjasama dengan kami yang sedang merintis usaha sebagai ‘wonge dewek’, para kepala desa menyambut antusias. Wajar, apalagi kebanyakan kawan kepala desa di sini bukan orang yang anti terhadap sistem ekonomi Berdikari dimana di dalamnya terkandung makna gotong royong,” tegasnya.
Purwoko mengaku tidak akan mundur untuk memperjuangkan komoditi petani lokal. Selain itu, ada yang ia sampaikan berkait dengan usaha untuk ikut mengisi komoditi beras memperoleh dukungan dari aparatur pemerintah desa. “Silahkan cek, ini baru 6 kepala desa. Mereka jelas menginginkan konsep pemberdayaan seperti yang kami tawarkan, terlepas dari kerugian yang dialami petani lokal. Kami berdiri di jalur yang tepat, dan tak akan mundur ketika harus berhadapan dengan kartel atau apapun,” tandasnya.
Penasihat LSM Pijar dan Banyumas Anti Korupsi (Batik) Banyumas, Suherman menyatakan, pemerintah sudah seharusnya hadir ketika mengetahui kondisi yang terjadi di lapangan, sudah sangat tidak fair seperti apa yang dialami di Cilongok.
“Sudah sangat pantas apabila agen khusunya yang sudah mengetahui petani di desanya merintih, dan ada elemen lokal yang melakukan gerakan untuk melindungi tetapi masih menolak, mereka segera dicabut saja ijin usaha e warongnya. Bahkan, jika ada indikasi terjadi keterlibatan paguyuban e warong maka harus segera difollow u,” tegas mantan Ketua DPRD Banyumas ini.