Rangga Sujali
Sesekali jalanlah ke Canggu, Badung. Di sana akan bertemu banyak bule berkendara motor. Mereka menyebutnya skuter. Apa pun mereknya, asal itu metik.
Laki-laki, perempuan begitu menikmati pakai skuter. Yang laki-laki bercelana pendek, kadang tanpa baju. Yang perempuan tak jarang hanya lingerie sangat terbuka. Tanpa helem, kecakapan berkendara yang rendah, mungkin tanpa SIM. Ngawur cenderung brutal. Kondisi jalan yang padat dan macet, membuat trotoar jadi alternatif. Lajur jalan pun tak lagi mereka perhatikan.
Di negara asal, mereka tidak pernah melakukan hal serupa. Tapi di Bali, melihat pengendara lokal dengan mudah melakukan “pelanggaran”, maka mereka pun ikut. Terperangkap dalam habit, kebiasaan, yaitu perilaku atau cara berpikir yang dilakukan secara berulang-ulang hingga menjadi otomatis dan sering kali tidak disadari.
Mari kita lihat dalam keseharian berbangsa-bernegara. Habit dalam birokrasi. Permahfuman terhadap kesalahan jadi tradisi. Mengelola negara dengan suka-suka. Ada lembaga yang bertugas membuat aturan bernegara, work by order. Peraturan dibuat sedemikian rupa sehingga menguntungkan yang berani membayar. Bahwa tidak berpihak pada rakyat, itu tidaklah penting.
Negara tersandera. Karena banyak sekali keputusan yang hanya didasarkan pada kepentingan sesaat, dan segelintir elit. Dari level yang paling atas, sampai daerah. Undang-undang, peraturan, dan keputusan, seperti halnya iseng bermain. Lupa bahwa yang mereka bahas hari ini adalah penentu masa depan. Lagi-lagi rakyat menjadi korbannya.


