Angga Saputra
Ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta menjadi alarm keras bagi perlindungan anak di Indonesia, baik sebagai korban maupun pelaku tindak pidana. Peristiwa yang terjadi di kompleks Kodamar TNI Angkatan Laut, Kelapa Gading, itu menegaskan bahwa penanganan anak tak cukup dibatasi pada prosedur hukum semata.
Ribuan kilometer dari Jakarta, kekerasan terhadap anak usia serupa juga terjadi di Banyumas. Di lingkungan pondok pesantren yang seharusnya menjadi ruang pembentukan akhlak dan pendidikan formal, justru terjadi tindakan yang mengguncang rasa aman.
Kedua peristiwa ini, ledakan di SMA 72 dan kekerasan di pesantren Banyumas, mengoyak ketenangan dunia pendidikan. Mereka mengguncang rasa perih para orang tua yang memiliki anak pada usia yang sama. Sekolah dan pesantren, yang seharusnya menjadi ruang aman untuk tumbuh dan belajar, berubah menjadi tempat penuh kecemasan dan trauma.
Meski kepolisian memastikan bahwa ledakan di SMA 72 berasal dari bahan peledak rakitan dan bukan serangan terorganisir, dampaknya tetap mendalam. Trauma dialami siswa, guru, dan masyarakat sekitar. Begitu pula di Banyumas, kekerasan di lingkungan pesantren meninggalkan luka rasa yang tak kalah serius.
Dalam konteks ini, kita perlu bertanya: mengapa peristiwa seperti ini bisa terjadi di ruang pendidikan? Setidaknya ada dua hal yang patut dicermati:
– Pertama, lemahnya sistem pengawasan dan keamanan sekolah. Banyak institusi pendidikan masih menganggap keamanan fisik sebagai urusan sekunder, padahal ancaman bisa datang dari mana saja, baik dari luar maupun dari dalam.
– Kedua, rendahnya literasi keamanan dan pencegahan kekerasan di kalangan siswa. Banyak remaja belum memahami betapa seriusnya tindakan yang mengarah pada kekerasan, termasuk eksperimen dengan bahan berbahaya.
Kejadian ini harus menjadi peringatan keras bagi pemerintah daerah dan Kementerian Pendidikan. Penguatan sistem keamanan sekolah tak cukup hanya dengan penjaga gerbang atau kamera pengawas. Diperlukan pendidikan karakter, pelatihan deteksi dini, dan koordinasi aktif dengan aparat keamanan. Sekolah harus menjadi ruang terbuka untuk komunikasi, tempat siswa bisa melaporkan hal-hal mencurigakan tanpa takut dihakimi.
Lebih dari itu, masyarakat juga harus berperan. Orang tua, guru, dan lingkungan sosial perlu membangun budaya kewaspadaan tanpa menimbulkan kepanikan. Pendidikan tak boleh hanya mencetak siswa cerdas, tetapi juga sadar akan tanggung jawab sosial dan keamanan bersama.
Peristiwa di SMA 72 Jakarta dan kekerasan di pesantren Banyumas bukan sekadar tragedi. Mereka adalah pengingat bahwa keamanan anak di sekolah adalah urusan kita semua.
Bila kita abai, bukan tidak mungkin kejadian serupa akan terulang. Dan jika itu terjadi, yang hancur bukan hanya bangunan sekolah, tetapi juga harapan dan rasa aman anak-anak kita.


