FOKUS – Kasus perumahan Sapphire Mansion di Kabupaten Banyumas kembali mencuat. Perumahan yang awalnya berizin sebagai kawasan hunian sangat sederhana itu kini menjadi sorotan aparat penegak hukum.
Sekitar sepekan lalu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyumas memasang spanduk peringatan di dua titik sekitar lokasi perumahan. Spanduk tersebut bertuliskan, “Penyelesaian Perizinan Sapphire Mansion dalam Pengawasan Kejaksaan Negeri Purwokerto dan Kejaksaan Negeri Banyumas. Dilarang Keras Membangun Bangunan Tanpa Persetujuan Pembangunan Gedung.”
Meski demikian, pada Rabu (29/10/2025), kegiatan pembangunan masih tampak di salah satu rumah yang sedang dikerjakan di kawasan perumahan tersebut.
Pada hari yang sama, tim dari Polda Jawa Tengah turun langsung ke lapangan untuk melakukan klarifikasi terkait laporan yang sebelumnya disampaikan oleh Hendy Wahyu Saputra, warga Desa Karangrau, Kecamatan Sokaraja, bersama kuasa hukumnya, H. Djoko Susanto, SH.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, kedatangan aparat dari Polda Jateng bertujuan untuk memastikan penanganan laporan Hendy di Polresta Banyumas berjalan sesuai prosedur.
Kuasa hukum pelapor, H. Djoko Susanto, SH, mengatakan pihaknya telah melaporkan sejumlah dugaan pelanggaran kepada Polresta Banyumas. Ia juga telah mengirimkan surat kepada Mabes Polri untuk menindaklanjuti lambannya penanganan perkara tersebut.
“Kami telah melaporkan tiga tindak pidana, namun hingga kini prosesnya di Polres terkesan lamban. Ini perlu menjadi perhatian serius karena menyangkut ketatanegaraan, penyalahgunaan jabatan, dan kewenangan di Kabupaten Banyumas,” ujar Djoko, yang juga menjabat sebagai Ketua Peradi SAI Purwokerto.
Djoko menjelaskan, kasus tersebut berkaitan dengan permasalahan lahan dan peruntukannya yang diduga tidak sesuai dengan ketentuan. Menurutnya, pihak pengembang dan stakeholder di lokasi tersebut tidak mengindahkan larangan pembangunan yang telah dikeluarkan pemerintah daerah.
“Ini menunjukkan adanya ketidakkonsistenan dan pengabaian terhadap aturan yang berlaku. Seharusnya diberlakukan status quo atas lahan itu sampai persoalan hukumnya tuntas,” tegasnya.
Ia berharap Mabes Polri turun tangan agar proses hukum berjalan adil, transparan, dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang terdampak.
Asal-usul Kasus Saphire Mansion

Kasus perumahan Saphire Mansion menjadi perhatian publik setelah salah satu pembeli, Hendy Wahyu Saputra melaporkan kasus tersebut. Hendy melaporkan pihak pengembang setelah menemukan kejanggalan dalam Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang ia ambil melalui Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Pada tahun 2019, Hendy membeli rumah mewah senilai Rp809,9 juta atas nama istrinya, Tri Afiyani, di kompleks Sapphire Mansion. Namun, belakangan diketahui rumah tersebut tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang saat ini berganti istilah menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
Kejanggalan itu terungkap saat Hendy mengajukan penambahan kredit (top up) ke BRI, tetapi ditolak karena ketiadaan IMB atau PBG.
“Kami sangat heran, bagaimana bisa pihak bank meloloskan KPR tanpa adanya IMB? Ini sangat janggal,” kata Hendy.
Penelusuran lebih lanjut yang dilakukan Hendy mengungkap fakta lain. Dalam sertifikat rumah yang diterimanya, peruntukan lahan tercatat sebagai rumah sederhana dan rumah sangat sederhana plus, padahal bangunannya tergolong mewah.
Selain itu, berdasarkan informasi dari Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim) Kabupaten Banyumas, site plan perumahan Sapphire Mansion telah dicabut sejak tahun 2019. (Redaksi)


