BANYUMAS – Banner protes yang dipasang oleh ahli waris tanah yang kini ditempati SD Negeri 1 Karangbawang dan Balai Desa Karangbawang, Kecamatan Ajibarang, hanya bertahan beberapa jam sebelum dicopot oleh seseorang yang belum diketahui identitasnya.
Heri Sutrisno, salah satu ahli waris, menyatakan bahwa pemasangan banner di tembok sekolah dilakukan sebagai bentuk ekspresi dan upaya agar tuntutan mereka mendapat perhatian dari pemerintah daerah.
“Kami memasang banner itu agar pemerintah daerah memperhatikan tuntutan kami. Tapi beberapa jam kemudian sudah dicopot oleh seseorang,” ujar Heri, Senin (27/10/2025).
Banner tersebut memuat tulisan “Kembalikan Tanah Adat Rakyat” dan pernyataan bahwa tanah yang digunakan untuk SD Negeri 1 Karangbawang dan Kantor Desa Karangbawang merupakan milik almarhum Watim Al Wirasengaja Al H Romli, yang diminta untuk dikembalikan kepada ahli waris yang sah.
Heri menambahkan, pihaknya telah menempuh jalur hukum untuk menyelesaikan sengketa tersebut. “Kami sudah berkonsultasi dengan Klinik Hukum Peradi SAI Purwokerto,” katanya.
Diketahui, status kepemilikan lahan seluas sekitar 1.060 meter persegi itu dipertanyakan oleh keluarga almarhum Haji Romli. Mereka mengklaim bahwa lahan tersebut masih atas nama keluarga dan belum pernah dialihkan secara sah.
Sayono (77), ayah Heri dan keponakan almarhum Haji Romli, menjelaskan bahwa tanah tersebut dulunya milik pamannya dan disebut-sebut pernah ditukar guling dengan tanah Banda Desa Karangbawang pada tahun 1950-an. Namun, ia menegaskan tidak ada bukti sah terkait peralihan tersebut.
“Katanya ditukar guling dengan tanah Banda Desa, tapi sampai sekarang tanah Banda Desa masih milik desa. Tidak pernah ada serah terima atau sertifikat atas nama keluarga kami,” ujar Sayono.
Bangunan sekolah mulai digunakan sejak awal 1950-an, setelah lokasi lama dipindahkan. Sayono mengaku keluarganya baru menyadari persoalan status tanah itu pada 1990-an, ketika ada upaya penerbitan sertifikat oleh pihak lain.
“Waktu itu ada yang mau membuat sertifikat, tapi ditolak karena status tanah masih tanah negara dan belum jelas asal-usulnya,” tambahnya.
Karena Haji Romli tidak memiliki anak, kepemilikan tanah jatuh kepada saudara kandungnya, Haji Atmorejo, ayah Sayono. Namun, belakangan muncul pihak lain yang juga menempati sebagian lahan, yakni saudara tiri Atmorejo dari pernikahan kedua Haji Romli.
Keluarga ahli waris kini meminta kejelasan hukum dari pemerintah terkait penggunaan lahan tersebut untuk fasilitas pendidikan.
Kuasa hukum ahli waris, H. Djoko Susanto SH, menyatakan bahwa pemasangan spanduk dilakukan sebagai bentuk protes karena pihak desa maupun sekolah dianggap tidak menunjukkan itikad baik dalam menempati lahan yang menurut mereka belum berizin.
“Ahli waris memasang spanduk tanpa perlu izin dari kantor desa atau kepala sekolah. Karena mereka pun menduduki tanah itu tanpa izin dari pemilik sah,” ujar Djoko.
Ia menilai pencopotan spanduk oleh komite sekolah mencerminkan sikap arogan. “Sebagai lembaga pendidikan, seharusnya memberi contoh yang baik. Bagaimana anak-anak bisa menghormati hukum jika mereka belajar di atas tanah sengketa yang dikuasai secara tidak benar?” pungkasnya. (Angga Saputra)


