FOKUS – Forum Masyarakat Peduli Program Makanan Bergizi Gratis (FMP2M) kembali melontarkan kritik tajam terhadap pelaksanaan Program Makanan Bergizi (MPG) di Kabupaten Banyumas. Program yang bertujuan meningkatkan gizi masyarakat ini dinilai rawan penyimpangan akibat pelaksanaan yang serampangan dan sarat kepentingan bisnis.
H. Eko Purwanto, S.E., M.M., perwakilan FMP2M, menegaskan pentingnya pengawasan terhadap kualitas dan harga menu agar sesuai dengan standar Rp10.000 per porsi yang ditetapkan pemerintah.
“Pada prinsipnya kami mendukung program Presiden Prabowo. Tapi pelaksanaannya masih banyak kekurangan. Forum ini lahir dari kepedulian masyarakat,” ujar Eko, Sabtu (4/10/2025), usai bertemu Bupati Banyumas dalam audiensi membahas persoalan MBG.
Eko juga mengungkapkan dugaan keterlibatan sejumlah pejabat, baik dari DPR RI maupun DPRD, dalam pengelolaan dapur MBG. Menurutnya, hal ini menimbulkan konflik kepentingan karena pejabat yang seharusnya mengawasi justru ikut menjadi pelaksana.
“Kami sangat prihatin. Ini ibarat jeruk makan jeruk, pengawas justru ikut bermain,” tegasnya.
FMP2M menekankan pentingnya kontrol sosial dari masyarakat agar program berjalan transparan, tepat sasaran, dan benar-benar memberi manfaat bagi rakyat kecil.
Koordinator FMP2M, Sumbadi, menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan audiensi dengan Bupati Banyumas untuk menyampaikan keprihatinan publik.
“Korban dari pelaksanaan yang tidak tepat bisa saja nyawa. Tapi pelaksana lebih fokus pada keuntungan. Karena itu kami merasa terpanggil untuk ikut mengawasi,” katanya.
Ia menambahkan bahwa aturan program sebenarnya sudah jelas, namun pelaksanaannya kerap keluar jalur dan bercampur dengan kepentingan bisnis.
“Bupati itu bapaknya masyarakat. Jangan sampai rakyat jadi korban sementara pemerintah daerah tak berdaya,” ujarnya.
Sumbadi juga menegaskan bahwa jika wakil rakyat terbukti ikut serta dalam pelaksanaan MBG, pihaknya akan mengambil langkah hukum.
“Pejabat negara dilarang terlibat dalam program yang menggunakan anggaran negara. Jika terbukti, kami tidak segan mempertanyakan langsung kepada KPK,” tandasnya.
Isnaeni dari FMP2M turut menyoroti lemahnya standar dapur MBG yang berpotensi mencemari makanan. Ia menyebut sejumlah kasus keracunan di Banyumas diduga berasal dari dapur produksi yang tidak memenuhi syarat.
“Bagaimana mungkin satu dapur bisa masak 3.000 porsi? Proses masak yang terlalu lama membuat makanan rawan bakteri. Apalagi kalau peralatannya tidak standar, seperti lapisan besi yang bisa menimbulkan racun saat dipanaskan,” jelasnya.
Menurutnya, mekanisme SPPG (Satuan Pelaksana Program Gizi) perlu dievaluasi. Ia menyarankan agar produksi dibatasi maksimal 1.000 porsi per dapur, atau dikembalikan ke sekolah dan orang tua murid demi menjamin kualitas.
Isnaeni juga menyinggung dugaan permainan anggaran. Dari dana Rp10.000 per porsi, sekitar Rp2.000 disebut dialokasikan untuk “sehat dapur”. Namun praktik di lapangan menunjukkan adanya permainan dengan pemasok sehingga efisiensi biaya bisa mencapai 50 persen.
“Hitungan kami, keuntungan pengelola dapur bisa ratusan juta per bulan. Tapi kualitas makanan anak-anak justru dikorbankan,” ujarnya.
FMP2M menegaskan dukungan terhadap program nasional MPG, namun menolak segala bentuk penyimpangan di tingkat pelaksana. Mereka mendesak pemerintah daerah segera melakukan pembenahan agar anggaran triliunan rupiah benar-benar sampai ke rakyat.
Bupati : Antara Kewenangan Terbatas dan Tanggung Jawab Sosial
Sementara jtu, Bupati Banyumas Drs. H. Sadewo Tri Lastiono, M.M menegaskan bahwa Program Makanan Bergizi (MBG) merupakan kebijakan nasional yang digagas oleh Presiden, bukan program pemerintah daerah.
“Program ini adalah kebijakan Presiden. Pemerintah daerah hanya mendukung pelaksanaan, bukan sebagai pelaksana utama,” ujar Sadewo.
Sadewo menyebut telah mengumpulkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk Forkopimda dan Forkopimcam, untuk membentuk tim pengawasan dari Puskesmas dan kecamatan agar pelaksanaan MBG tetap terpantau.
Namun, ia mengakui sempat terjadi kebingungan saat pihak Puskesmas hendak melakukan inspeksi ke dapur MBG/SPPG, karena tidak ada regulasi daerah yang mengatur mekanisme teguran.
“Kami terbuka terhadap masukan, bahkan tekanan sekalipun, selama disampaikan dengan cara yang baik,” katanya.
Sadewo meminta agar seluruh usulan dan laporan masyarakat disampaikan secara tertulis kepada Nungky Harry Rachmat selaku Kepala Sub Bagian Kesejahteraan Rakyat.
Ia juga menginstruksikan para camat untuk berkoordinasi terkait permasalahan SPPG dan menyusun surat resmi kepada pihak Badan Gizi Nasional (BGN).
Laporan : Angga Saputra