(Dasar Penetapan Besaran Tunjangan Perumahan dan Transportasi DPRD Banyumas Menggunakan Pihak Ketiga yang Tidak Kompeten)
Penulis: Aan Rohaeni
Besarnya tunjangan perumahan dan transportasi bagi pimpinan dan anggota DPRD Banyumas terus menuai tanda tanya publik. Melalui Peraturan Bupati Banyumas Nomor 9 Tahun 2024, yang ditandatangani Pj. Bupati Hanung Cahyo Saputro dan berlaku sejak 1 Januari 2024, APBD harus menanggung beban sekitar Rp22,26 miliar per tahun hanya untuk dua pos tunjangan tersebut.
Bandingkan dengan anggaran penanganan bencana alam Banyumas tahun 2025 yang hanya Rp2,58 miliar. Rasanya tidak masuk akal jika belanja untuk tunjangan dewan nyaris sepuluh kali lipat lebih besar daripada dana darurat untuk menyelamatkan warga korban bencana.
Lebih jauh, tunjangan yang semestinya menjadi kompensasi karena pemerintah tidak menyediakan rumah dinas, justru berubah menjadi tambahan penghasilan. Fakta di lapangan menunjukkan hampir semua anggota DPRD sudah memiliki rumah pribadi dan kendaraan sendiri. Artinya, tunjangan besar itu tidak benar-benar digunakan sesuai maksudnya.
Dasar Penetapan yang Bermasalah
Pertanyaan kunci: atas dasar apa besaran tunjangan itu ditetapkan?
Belakangan diketahui, dasar perhitungan berasal dari kajian PT Savero Artistica Utama—sebuah perusahaan konsultan yang bukan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) dan tidak memiliki lisensi penilai dari Kementerian Keuangan. Artinya, kajian yang dijadikan acuan hukum dalam Perbup 9/2024 secara prosedural tidak sahih.
Penelusuran ke berbagai regulasi memperlihatkan bahwa hanya Penilai Publik yang berwenang menentukan nilai sewa rumah atau kendaraan untuk dasar tunjangan pejabat negara/daerah. Jika perhitungan diserahkan ke pihak yang tidak berkompeten, maka keputusan hukumnya pun patut dipertanyakan.
Lebih ironis, pola yang sama juga terjadi dalam Perbup Banyumas Nomor 96 Tahun 2020 yang ditandatangani Bupati Achmad Husein di penghujung tahun 2020, saat pandemi Covid-19. Dalam aturan itu, tunjangan perumahan ketua DPRD melonjak drastis dari Rp14 juta menjadi Rp38,75 juta per bulan. Sementara wakil ketua naik dari Rp13 juta menjadi Rp31,5 juta, dan anggota dari Rp12 juta menjadi Rp21,5 juta. Kenaikan fantastis ini terjadi hanya dalam kurun setahun.
Indikasi Perbuatan Melawan Hukum
Bila benar kedua peraturan tersebut lahir dari kajian pihak yang tidak memiliki kompetensi sebagai Penilai Publik, maka dapat diduga ada perbuatan melawan hukum. Setidaknya, prosedur pengambilan keputusan telah cacat sejak awal karena tidak menggunakan rujukan dari lembaga penilai yang sah.
Oleh karena itu, Aparat Penegak Hukum (APH) wajib melakukan penyelidikan:
1. Siapa yang mengusulkan penggunaan PT Savero Artistica Utama?
2. Apakah ada kepentingan tertentu di balik penunjukan konsultan tersebut?
3. Bagaimana proses penetapan angka yang jauh di atas harga sewa wajar di Banyumas?
Menutup Celah Penyalahgunaan
Kasus tunjangan DPRD Banyumas ini menjadi cermin buruknya tata kelola keuangan daerah. Jika dibiarkan, APBD akan terus terkuras untuk pos yang tidak produktif. Padahal dengan belanja lebih dari Rp22 miliar per tahun, pemerintah sebenarnya bisa membangun 50 rumah dinas untuk anggota DPRD. Biayanya bahkan lebih murah dan berkelanjutan dibanding membayar tunjangan setiap tahun.
Ke depan, perlu ada pembenahan regulasi dan pengawasan ketat dalam penetapan hak keuangan pejabat daerah. Transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan pada prosedur hukum adalah kunci agar APBD benar-benar berpihak pada rakyat, bukan hanya menguntungkan segelintir elit.


