FOKUS – Polemik tunjangan perumahan dan transportasi anggota DPRD Banyumas terus bergulir. Bupati Banyumas, Dewo Tri Lastiono, resmi mengajukan permohonan pendampingan hukum kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Banyumas untuk melakukan evaluasi menyeluruh atas regulasi yang mengatur hak keuangan wakil rakyat.
Permohonan tersebut tertuang dalam surat Bupati Banyumas Nomor 900.1.3.7/4207/IX/2025, tertanggal 25 September 2025, yang ditujukan kepada Kepala Kejari Banyumas. Surat itu menindaklanjuti surat Ketua DPRD Banyumas Nomor 900.1.3.7/1680/2025 tertanggal 24 September 2025 mengenai evaluasi tunjangan perumahan dan transportasi.
Dalam suratnya, Bupati Dewo menegaskan bahwa langkah evaluasi dilakukan untuk merespons aspirasi masyarakat yang belakangan menyoroti besarnya tunjangan DPRD. Evaluasi difokuskan pada Peraturan Bupati Banyumas Nomor 9 Tahun 2024 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Bupati Nomor 66 Tahun 2017 mengenai hak keuangan pimpinan dan anggota DPRD.
“Berkaitan dengan hal tersebut, agar menghasilkan evaluasi yang komprehensif terhadap Peraturan Bupati dimaksud, kami mengajukan permohonan pendampingan hukum kepada Kepala Kejaksaan Negeri Banyumas,” tulis Dewo dalam surat yang ditembuskan dengan melampirkan sejumlah data pendukung.
Langkah ini menandai keseriusan Pemkab Banyumas dalam menindaklanjuti isu tunjangan DPRD yang menjadi sorotan publik, sekaligus memastikan evaluasi berjalan transparan dan sesuai ketentuan hukum.
Sebelumnya, Forum Banyumas Bersuara secara resmi melayangkan surat permohonan kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Purwokerto, Selasa (23/9/2025). Surat tersebut meminta kejaksaan menggunakan kewenangannya untuk mencegah potensi tindak pidana korupsi serta meminimalisir kerugian daerah terkait pembayaran tunjangan perumahan dan transportasi bagi pimpinan serta anggota DPRD Banyumas.
Aan Rohaeni, perwakilan Forum Banyumas Bersuara, mengatakan pihaknya menyerahkan kajian penggunaan APBD sejak 2017 hingga 2025. Dari hasil kajian itu, tercatat sekitar Rp118 miliar sudah dikeluarkan untuk membiayai tunjangan dewan.
“Kami tidak sedang menargetkan orang untuk dipidana. Ada dua hal yang kami minta. Pertama, agar kejaksaan proaktif membantu pemerintah daerah menentukan standar harga sewa rumah dan kendaraan yang wajar, dengan melibatkan penilai independen (KJPP). Kedua, mencari formula bagaimana dana yang sudah terlanjur keluar bisa dikembalikan,” ujar Aan.
Ia menegaskan, dasar hukum sudah jelas dalam PP Nomor 18 Tahun 2017, yakni besaran tunjangan perumahan harus mengacu pada harga sewa rumah di daerah setempat sesuai standar rumah negara untuk pejabat eselon II (tipe B).
“Bukan rumah mewah di kawasan elit. Kalau standarnya sudah ketemu, maka selisihnya harus dikembalikan. Ini uang rakyat, bukan uang pribadi,” tegasnya. (Angga Saputra)