FOKUS – Sikap seorang anggota DPRD Banyumas yang dinilai menghardik mahasiswa saat audiensi menuai sorotan. Tindakan itu dianggap melukai perasaan mahasiswa sekaligus masyarakat yang turut menyaksikan.
Sejumlah aktivis menilai peristiwa tersebut mencederai etika komunikasi antara wakil rakyat dan rakyatnya. Mereka mendesak partai politik yang menaungi anggota dewan itu untuk memberikan teguran keras.
“Dewan seharusnya minta maaf dan dilaporkan ke partainya agar diberi sanksi. Kalau perlu bisa dinonaktifkan atau mundur dari jabatannya,” kata akademisi dan pengamat kebijakan publik, Dr. Barid Hardiyanto, M.Si., Selasa (24/9/2025).
Barid menegaskan, publik sudah sering menyaksikan pejabat yang diberi sanksi bahkan mundur dari jabatan karena salah ucap atau bersikap tidak pantas. “Wong ada yang joget-joget di DPR saja sampai dinonaktifkan, bahkan ponakan Pak Prabowo mundur gara-gara salah ucap. Jadi seharusnya anggota dewan di Banyumas juga bisa diberi sanksi,” ujarnya.
Menurutnya, wakil rakyat dituntut memberi teladan, bukan menunjukkan arogansi saat berdialog dengan konstituen. Ia berharap DPRD maupun partai segera menindaklanjuti persoalan ini demi menjaga marwah lembaga legislatif.
Audiensi Memanas
Suasana audiensi antara mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Banyumas Raya dengan Ketua dan pimpinan DPRD Banyumas, Selasa (24/9/2025), sempat memanas. Mahasiswa mendesak DPRD menyampaikan secara terbuka nominal gaji bulanan mereka, yang menurut kajian mahasiswa bisa mencapai Rp90 juta per bulan.
Namun, permintaan itu tak mendapat jawaban tegas. Wakil Ketua DPRD Banyumas dari Fraksi PKS, Joko Pramono, bersama Sukoco dari fraksi yang sama, menyatakan bahwa besaran gaji dan tunjangan ditentukan melalui Peraturan Bupati (Perbup).
“Kami sudah menyurati bupati, karena dasar perhitungan ada di Perbup. Untuk angka nominal kami tidak bisa menandatangani, karena Perbup baru yang akan menentukan,” ujar Joko.
Joko juga meragukan validitas kajian mahasiswa yang menurutnya hanya bersumber dari pemberitaan media. Pernyataan itu kembali memicu ketegangan hingga mahasiswa memilih membubarkan diri, sambil memberikan deadline tiga hari agar Perbup segera direvisi.
Kritik dari BEM UMP
Presiden BEM Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Yoga Dwi Yuwono, juga menyesalkan sikap anggota DPRD yang dinilai tidak mencerminkan keteladanan sebagai wakil rakyat.
“Sebagai pejabat publik, apalagi anggota DPRD, sudah sepatutnya terbuka terhadap kritik. Tetapi dalam audiensi kemarin ada anggota DPRD yang justru bersikap sebaliknya. Padahal kalau bersedia menjadi pejabat publik, harus menunjukkan sikap, perilaku, dan bahasa yang baik,” tegas Yoga.
Ia menambahkan, mahasiswa akan terus menyuarakan kritik demi perbaikan kinerja DPRD. “Kami datang dengan niat memberikan masukan, bukan untuk menjatuhkan. Yang kami harapkan adalah keterbukaan dan sikap kenegarawanan dari para wakil rakyat,” ujarnya.
Aksi demonstrasi yang digelar mahasiswa Banyumas Raya terkait tunjangan perumahan dan transportasi pimpinan serta anggota DPRD Banyumas hingga kini belum membuahkan hasil.
Aliansi mahasiswa menilai Perbup Nomor 9 Tahun 2024 tentang tunjangan DPRD tidak mencerminkan asas kewajaran, kepatutan, dan keadilan. Mereka menolak besaran tunjangan yang dianggap terlalu tinggi di tengah kondisi ekonomi masyarakat. (Angga Saputra)


