FOKUS – Polemik tunjangan perumahan dan transportasi bagi pimpinan serta anggota DPRD Banyumas terus menuai sorotan. Diskusi publik yang digelar di Pendopo Satelit TV, Jumat (19/9/2025) malam, menjadi ruang konsolidasi berbagai elemen masyarakat, termasuk aktivis kampus dan tokoh sipil.
Salah satu tokoh yang hadir, Dr. Hananto Prasetyo SH MH, mengkritik keras praktik politik uang dan gaya hidup elit sebagian anggota legislatif. Ia menilai fenomena tersebut lahir dari budaya sosial politik yang menjauhkan wakil rakyat dari konstituennya.
“Anggaran tunjangan yang berlebihan ini menciptakan ketimpangan. Ada perilaku elit yang memamerkan penghasilan besar dari jabatan, dan itu memperparah ketidakadilan anggaran publik,” ujar Hananto.
Ia menegaskan bahwa menunggu inisiatif perubahan dari legislatif atau eksekutif adalah hal yang tidak realistis. Menurutnya, kedua lembaga cenderung berkolaborasi mempertahankan status quo. Karena itu, Hananto mendukung langkah-langkah massa sebagai bentuk tekanan terhadap kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.
“Saya siap turun ke jalan. Pengalaman dua dekade lalu membuktikan bahwa ketika rakyat bersatu, suara mereka tak bisa diabaikan. Kalau perlu, kita rapatkan barisan,” tegasnya.
Hananto juga membagikan refleksi akademisnya sebagai doktor hukum, yang justru memperkuat keprihatinannya terhadap praktik hukum dan politik di legislatif. Ia mengajak seluruh elemen masyarakat, termasuk mahasiswa dan aktivis, untuk bersatu mengawal kebijakan publik agar tetap berpihak pada rakyat.
Pernyataan Hananto menambah deretan kritik publik yang muncul dalam beberapa hari terakhir, menyusul kebijakan tunjangan DPRD dan minimnya transparansi anggaran di Banyumas.
Aktivis Fordem: Gerakan Moral Adalah Tanggung Jawab Konstitusional
Bangkit Ari Sasongko dari Jaringan Fordem turut menyampaikan pandangannya dalam forum diskusi yang digelar Jum’at (19/9). Ia menyebut gerakan moral yang muncul di Banyumas sebagai bentuk kegelisahan publik atas kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.
“Perubahan tidak bisa hanya bertumpu pada kemauan legislatif. Secara teori sosial, sulit bagi pihak yang sudah menikmati keuntungan untuk secara sukarela merugikan dirinya sendiri,” ujarnya.
Bangkit menekankan pentingnya pendidikan kritis kepada publik agar kebijakan yang merugikan masyarakat tidak terus berulang. Ia menyebut Peraturan Bupati (Perbup) terkait tunjangan DPRD sebagai keputusan politik yang harus dikritisi secara terbuka.
“Gerakan moral ini bukan soal sentimen terhadap wakil rakyat, tapi soal tanggung jawab konstitusi. Kita sedang membangun ekosistem perlawanan terhadap kebijakan yang tidak pro-rakyat,” tegasnya.
Ia juga menyoroti ketimpangan antara nilai tunjangan DPRD dan kondisi anggaran daerah. Bangkit membandingkan dengan DPR RI yang menghentikan tunjangan perumahan senilai Rp50 juta, sementara di daerah justru alokasi tunjangan membebani APBD.
“Kalau pusat bisa meninjau ulang, daerah juga harus bisa. Tidak masuk akal jika tunjangan justru menjadi beban fiskal,” katanya.
Bangkit menutup pernyataannya dengan seruan solidaritas. “Darah kami sama merah. Ketika dibutuhkan untuk kebaikan Banyumas, kami siap turun ke jalan. Ini demi menjaga keadilan sosial,” pungkasnya.
Diskusi publik menyoroti tunjangan perumahan dan transportasi DPRD Banyumas juga melibatkan jurnalis dari media online, media elektronik dan pegiat Medsos. (Angga Saputra)