PURWOKERTO– Di tengah pesatnya digitalisasi dan budaya instan yang mengikis kedalaman rasa, Sanggar Seni Samudra kembali mengingatkan pada sosok Willibrordus Surendra Broto Narendra, yang lebih dikenal sebagai WS Rendra, sang Burung Merak. Untuk mengenang maestro sastra kelahiran Surakarta, 7 November 1935 dan wafat di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada usia 73 tahun, Sanggar Seni Samudra menggelar pembacaan puisi di Jl. Prof. M. Yamin, Karangklesem, Purwokerto Selatan, bertepatan dengan 16 tahun kepergiannya pada 6 Agustus 2025.
Acara ini menjadi respons terhadap “kiamat sastra”âmasa ketika sastra terpinggirkan oleh budaya serba cepat. WS Rendra, dengan karya puitis dan teaternya yang enerjik, mulai pudar dari ingatan generasi muda yang lebih familiar dengan konten singkat media sosial.
Modernisasi, atau era digital, menuntut serba cepat dan praktis, namun kemudahan ini membawa dampak negatif, mengubah selera masyarakat termasuk dalam sastra. Sastra mulai ditinggalkan, terutama oleh Generasi Z dan Alpha. Jika dulu ada istilah âMalas Membacaâ, kini muncul âMalas Menontonâârealitas memprihatinkan di mana menonton video utuh saja terasa berat. Hal ini menyebabkan hilangnya ârasaâ, kompas kehidupan yang menuntun pada makna. Kehilangan rasa membuat hidup menjadi hambar.
Faisal Jais (31), atau Jayeng, Ketua Harian Sanggar Seni Samudra, menekankan pentingnya keseimbangan antara teknologi dan sastra. âKemajuan peradaban ditandai dengan kemajuan keduanya. Jika teknologi berkembang pesat, sastra juga harus demikian,â ujarnya.
Yudiono Aprianto (38), pengamat sastra dan pengajar SMK di Purwokerto, menyayangkan kondisi saat ini.
âBanyak Generasi Z dan Alpha tak mengenali sastrawan sekaliber WS Rendra, lebih terbuai teknologi. Ini bertolak belakang dengan misi âBangunlah jiwanya, bangunlah badannyaâ dalam lagu Indonesia Raya. Bagaimana jiwa terbangun jika hanya fokus pada pembangunan fisik?â tuturnya prihatin.
Yudi mengapresiasi inisiatif Sanggar Seni Samudra dalam menumbuhkan kembali kecintaan pada sastra. Keprihatinan ini mendorong sanggar untuk terus mengkampanyekan gerakan cinta sastra, termasuk melalui pembacaan puisi Rendra.
âSanggar Seni Samudra luar biasa menginisiasi kegiatan mengenang WS Rendra. Semoga lebih banyak lagi gerakan serupa,â tambahnya.
Acara ini diharapkan menjadi titik awal kebangkitan sastra di kalangan generasi muda, mengingatkan bahwa tanpa rasa, hidup menjadi mekanis dan tanpa makna. Sastra, seperti puisi-puisi Rendra, adalah jalan menghidupkan kembali rasa itu. (Angga Saputra)


